Kekerasan Sistematis di Darfur 2003-2008: Pelajaran Penting bagi Penegakan HAM Internasional
Nurjannah.-Dok Pribadi-
Oleh Nurjannah
Mahasiswa Hubungan Internasional UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Konflik Darfur yang meletus pada tahun 2003 hingga 2008 menjadi salah satu tragedi kemanusiaan paling kelam di abad ke-21. Di wilayah barat Sudan ini, kekerasan tidak terjadi dalam bentuk bentrokan biasa, melainkan berlangsung secara sistematis, terstruktur, dan menyasar kelompok-kelompok etnis tertentu. Pemerintah Sudan bersama milisi Janjaweed melakukan aksi kekerasan meluas berupa pembakaran desa, pembunuhan massal, pemerkosaan sebagai senjata perang, pengusiran paksa, dan penghancuran sumber-sumber kehidupan seperti sumur dan ladang pertanian. Sejak awal konflik hingga puncaknya, lebih dari dua juta warga sipil mengungsi dan ratusan ribu lainnya diperkirakan menjadi korban.
Namun Darfur bukan hanya kisah tentang kekejaman. Ia adalah cermin atas rapuhnya mekanisme penegakan HAM internasional. Meski dunia telah menciptakan berbagai instrumen hukum internasional, mulai dari Mahkamah Pidana Internasional (ICC), Dewan Keamanan PBB, hingga misi-misi penjaga perdamaian, kasus Darfur menunjukkan bahwa efektivitas instrumen tersebut sangat dipengaruhi kepentingan politik global. Konflik Darfur memperlihatkan bahwa keberadaan hukum internasional saja tidak cukup, yang menentukan adalah kemauan politik, solidaritas internasional, dan keberanian menghadapi negara pelanggar.
Akar Konflik dan Pola Kekerasan Sistematis
Kekerasan di Darfur tidak muncul secara tiba-tiba. Ia merupakan akumulasi dari ketidakadilan sosial, diskriminasi etnis, perebutan sumber daya, dan marginalisasi ekonomi yang berlangsung selama puluhan tahun. Kelompok-kelompok non-Arab di Darfur seperti Fur, Zaghawa, dan Masalit telah lama merasa diabaikan oleh pemerintah pusat di Khartoum. Ketika dua kelompok pemberontak, yaitu Sudan Liberation Army (SLA) dan Justice and Equality Movement (JEM) melancarkan serangan ke instalasi militer pemerintah, konflik berubah menjadi operasi pemusnahan besar-besaran terhadap warga sipil.
Human Rights Watch mencatat bahwa milisi Janjaweed, yang dipersenjatai dan didukung oleh pemerintah Sudan, melakukan serangan sistematis terhadap desa-desa non-Arab. Mereka tidak hanya menggusur penduduk, tetapi menghancurkan rumah, merusak ladang, menewaskan para lelaki, dan memperkosa perempuan secara massal. Pemerkosaan digunakan sebagai senjata untuk menghancurkan struktur sosial dan identitas etnis korban. Tindakan-tindakan ini menunjukkan pola yang konsisten dan terkoordinasi, bukan serangan acak.
Laporan Komisi Penyelidikan Internasional PBB pada 2005 mengidentifikasi unsur-unsur kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Meski terdapat perdebatan mengenai apakah kekerasan tersebut dapat dikategorikan sebagai genosida, temuan lapangan menunjukkan adanya intensi untuk menghancurkan kelompok-kelompok etnis tertentu, baik secara fisik maupun sosial. Namun perdebatan ini sebagian besar dipicu oleh kepentingan politik negara-negara besar dan bukan dari analisis murni atas kondisi di lapangan.