Baca Koran babelpos Online - Babelpos

Kekerasan Sistematis di Darfur 2003-2008: Pelajaran Penting bagi Penegakan HAM Internasional

Nurjannah.-Dok Pribadi-

Dalam konteks Darfur, kontrol pemerintah Sudan terhadap militer dan milisi Janjaweed memungkinkan beroperasinya pola kekerasan dengan karakteristik yang konsisten: penghancuran infrastruktur sipil, penyerangan terhadap kelompok etnis tertentu, serta penggunaan kekerasan seksual sebagai instrumen destabilisasi komunitas. 

 

Pola ini sesuai dengan indikator kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana didefinisikan dalam Statuta Roma, yang menekankan unsur “serangan meluas atau sistematis terhadap penduduk sipil”. Dengan demikian, Darfur bukan sekadar konflik bersenjata, tetapi merupakan contoh konkret bagaimana struktur kekuasaan negara dapat dimobilisasi untuk melakukan kekerasan terencana yang melampaui batas-batas konflik konvensional.

 

Pelajaran Penting: Keadilan Tidak Akan Tegak Tanpa Kemauan Politik

Darfur memberikan pelajaran pahit mengenai keterbatasan sistem HAM internasional. Pertama, keberadaan instrumen hukum seperti ICC tidak otomatis menghasilkan keadilan. Mekanisme internasional bergantung pada kemauan negara untuk bekerja sama. Tanpa kemauan politik, hukum menjadi dokumen tanpa kekuatan. 

 

Kedua, Darfur memperlihatkan bahwa intervensi internasional sering terlambat dan terlalu hati-hati. Ketika bukti kekerasan sudah menggunung, PBB masih sibuk berdebat mengenai terminologi, mandat, dan risiko geopolitik. Akibatnya, kejahatan terhadap kemanusiaan terus terjadi tanpa hambatan.

 

Ketiga, tragedi Darfur menegaskan bahwa kekerasan sistematis tidak dapat diputus hanya dengan sanksi atau pernyataan. Konflik akar rumput terkait diskriminasi etnis, ketimpangan ekonomi, dan marginalisasi politik harus ditangani secara serius. Jika tidak, kekerasan akan muncul kembali. 

 

Hal ini terbukti pada 2023–2024 ketika wilayah Darfur kembali dilanda pertumpahan darah akibat konflik antara militer Sudan dan Rapid Support Forces (RSF). Namun ada harapan. Setelah tumbangnya rezim al-Bashir pada 2019, pemerintah transisi Sudan menyatakan kesediaannya untuk bekerja sama dengan ICC. Meskipun perubahan ini belum sepenuhnya berjalan, ia menunjukkan bahwa momentum keadilan tetap mungkin, meski sangat terlambat.

 

Pada akhirnya, Darfur mengingatkan dunia bahwa melindungi hak asasi manusia bukan sebatas membentuk lembaga internasional, tetapi memastikan lembaga tersebut memiliki mandat yang kuat, dukungan politik, serta keberanian moral. Tanpa itu semua, tragedi seperti Darfur akan terus berulang di berbagai belahan dunia.**

 

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan