Baca Koran babelpos Online - Babelpos

Kekerasan Sistematis di Darfur 2003-2008: Pelajaran Penting bagi Penegakan HAM Internasional

Nurjannah.-Dok Pribadi-

Selama rentang 2003–2008, Darfur menjadi zona tanpa perlindungan. Organisasi kemanusiaan seperti Oxfam dan MSF sering kali menjadi target serangan, menghambat bantuan bagi korban. Ribuan anak tumbuh di kamp pengungsian yang tidak memiliki akses pendidikan, layanan kesehatan, atau jaminan perlindungan. Kekerasan tersebut tidak hanya merusak kehidupan saat itu, tetapi menciptakan generasi yang tercerabut dari masa depan.

 

Upaya Internasional: Antara Keberanian Moral dan Dinamika Politik

Respons komunitas internasional terhadap Darfur melibatkan berbagai lembaga, namun efektivitasnya sangat terbatas. Pada tahap awal, Dewan Keamanan PBB mengutuk kekerasan namun terlalu berhati-hati dalam mengambil tindakan tegas. Beberapa negara anggota tetap, khususnya Cina dan Rusia memiliki hubungan ekonomi dan politik dengan Sudan sehingga enggan mendukung intervensi keras. 

 

Meski begitu, terdapat langkah signifikan ketika Dewan Keamanan PBB mengadopsi Resolusi 1593 pada 2005, yang menyerahkan kasus Darfur kepada Mahkamah Pidana Internasional (ICC). Ini adalah pertama kalinya Dewan Keamanan menyerahkan situasi negara yang bukan anggota Statuta Roma kepada ICC. Dengan ini, PBB mengakui bahwa kejahatan berat sedang terjadi dan sistem peradilan nasional Sudan tidak dapat diandalkan.

 

ICC kemudian mengeluarkan surat penangkapan terhadap beberapa pejabat tinggi Sudan, termasuk Presiden Omar al-Bashir dengan tuduhan kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan genosida. Langkah ini secara simbolik sangat penting, untuk pertama kalinya, seorang kepala negara yang masih menjabat didakwa atas kejahatan seberat itu. Namun di sinilah hukum internasional menunjukkan batasnya.

 

Banyak negara anggota Uni Afrika menolak mengeksekusi surat penangkapan al-Bashir dengan alasan bahwa ICC dianggap bias terhadap negara-negara Afrika. Akibatnya, al-Bashir mampu bepergian ke berbagai negara tanpa ditahan. Sudan sendiri, selama bertahun-tahun, secara terbuka menolak yurisdiksi ICC. Penolakan ini memperlihatkan bagaimana mekanisme internasional dapat melemah ketika sebuah negara pelanggar mendapat perlindungan politik dari sekutu-sekutunya.

 

Selain ICC, upaya hadir melalui pembentukan misi perdamaian UNAMID (United Nations-African Union Mission in Darfur). Mandat UNAMID mencakup perlindungan warga sipil dan mendukung proses perdamaian. Namun akses mereka dibatasi oleh pemerintah Sudan, wilayah operasi yang sangat luas, minimnya personel, serta kondisi keamanan yang sangat berbahaya. 

 

Dalam beberapa kasus, laporan kekerasan terhadap warga sipil tidak dapat diverifikasi karena pasukan UNAMID tidak diberi akses ke lokasi kejadian. Upaya diplomasi global, termasuk kampanye internasional “Save Darfur”, berhasil menggerakkan perhatian publik dunia. Namun tekanan moral saja tidak cukup untuk mendorong tindakan tegas negara-negara besar. Konflik Darfur menunjukkan bahwa ketika nilai-nilai kemanusiaan berhadapan dengan kepentingan politik dan ekonomi, yang menang sering kali adalah kepentingan.

 

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan