Amplop
Marhaen Wijayanto.-Dok Pribadi-
Cerpen Marhaen Wijayanto
Saya dan kakek duduk di bawah pohon siang ini. Matahari seperti mendapat kipas, hingga ia semakin menyala-nyala membakar seisi alam. Saya menghitung keping dan uang kertas yang kami dapat dari mengangkut barang di pasar. Semenjak timah sepi, mau tak mau saya sering ke pasar. Tambang rakyat inkonvensional itu tak bisa diandalkan, yang ada malah orang-orang di kampung kami masuk berita karena sering terkena razia. Tentu timah tak bisa lagi jadi tombak yang tajam bagi periuk kami.
Selain mengajar, kekek mengais rezeki dari upah menjadi kuli suruh di pasar, orang menyebutnya porter. Karena membantu, saya sering tak masuk sekolah. Kakek pun kadang tak mengajar. Akhirnya kami menggantungkan rezeki menjadi pesuruh, bisa di pasar atau di keramaian.
Kondisi tertentu membuat tangan kakek gemetar dengan barang di tangannya. Antara semangat dengan fisik sudah tak lagi menyatu. Antara pikiran dengan kekuatan sering kali sudah tak sepaham. Meski tulang dan ototnya kuat bisa menaikkan sekarung beras, di titimangsa tertentu napasnya tersengal. Beliau tak bisa membohongi usia yang lanjut. Beliau perlu bantuan tangan muda
Badannya memang masih sangat tegap, rambut putihnya bisa ditutup topi atau peci hitam, tapi tetap jelas terbaca beliau melewati masa pensiun. Kakek tak bisa menipu, napas terengahnya membocorkan jika dia mulai tak mampu. Jika dulu bisa seharian bekerja, tetapi sekarang beberapa menit saja beliau sudah harus menurunkan bahu.
Sedikit demi sedikit uang hasil mengangkut barang kami kumpulkan untuk makan setiap hari. Ketika bertemu kawan saya malu. Pakaian lusuh dan kotor jadi perhatian buatnya. Namun saya dilatih menyingkirkan rasa itu, asal yang kita kerjakan halal. Jangan seperti orang yang tak punya urat malu, meski salah.
“Tuanglah rasa malu itu ke cangkir dan telanlah sendiri,” ujar kakek.
Anak kelas enam SD seperti saya selalu bangga pada kakek. Beliau baru saja diundang untuk upacara bendera di pusat kota. Saya meraba motif bunga-bunga di baju putih milik kakek. Seragam itu yang selalu kakek pakai saat mengajar. Kata orang, beliau adalah guru paling senior. Pejuang pendidik yang mengusahakan kemajuan pendidikan negeri ini sejak lima puluh tahun lalu. Seingat saya, setiap upacara hari besar kakek selalu mendapat undangan ke lapangan pusat kota untuk sekadar menerima tali asih dan bingkisan.
Setelah menunggu sekian waktu, sepeda ontel besar yang saya nantikan datang. Seragam putih bermotif kusuma bangsa serta peci hitam menutupi rambut putih membuat kakek terlihat gagah. Ontel yang dikayuh sangat tangguh menyusuri jalanan panjang jejak kakek melalui rintangan demi rintangan sebagai guru.
Di tasnya ada kapur yang ia beli dari hasil angkut barang. Menurut kepala sekolah, zaman sekarang sudah tidak cocok memakai kapur. Sekarang eranya papan interaktif digital. Tapi menurut kakek, kapur ditangannya lebih sakti dari apapun. Dengan alat tulis jadul itu, beliau mampu menghasilkan sederet orang hebat. Menurut kakek, secanggih apapun alat mengajar tak akan mampu mengalahkan tulusnya hati seorang guru.
Amplop tali asih yang ada ditangan kakek pun kami buka. Saya menerima satu lembar uang berwarna merah bergambar pahlawan. Senyum kakek pertanda bahwa saya besok bisa sekolah, tak lagi membantunya jadi tukang angkat barang. Kalau uang habis, barulah saya ikut kakek jadi porter di pasar.
Kakek kembali menghitung isi amplop di tangannya. Meski saya masih SD, tapi ingatan ini selalu saja bisa menghitung. Bingkisan itu hanya cukup untuk makan kami seminggu. Buktinya, setiap kakek menerima tali asih, seminggu kemudian saya membantu beliau jadi kuli panggul. Amplop warna putih, kadang merah, atau merah dan putih dijadikan satu, amat mirip dengan warna bendera negara kita. Itu terkesan hanya basa-basi saja.
Setelah uang terakhir tali asih itu kami gunakan membeli minuman di siang terik, amplopnya pun saya bubuhi lukisan yang indah. Di situ saya menggambar masa depan saya sebagai presiden. Lalu menganugerahkan para veteran perang dan guru senior seperti kakek dengan bintang tanda jasa dan kehidupan layak. Saya gagah memakai lencana berbintang dua di dada. Saya membusung, jas yang dipakai harum mengkilat, dan tentu semua orang menghormat.