Membingkai Ulang Toleransi Beragama
Noorhaidi Hasan-Dok Pribadi-
Oleh Noorhaidi Hasan
Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
DALAM beberapa pekan terakhir, kekerasan atas nama agama kembali mencuat di sejumlah wilayah Indonesia. Pada 27 Juni 2025, sekelompok pelajar Kristen berusia 10 hingga 14 tahun mengadakan retret rohani di sebuah vila di Desa Tangkil, Kecamatan Cidahu, Kabupaten Sukabumi. Vila tersebut, yang kerap digunakan untuk kegiatan serupa, berfungsi sebagai rumah doa dan tempat retret sementara.
Namun, sejumlah warga setempat mengira vila itu difungsikan sebagai rumah ibadah permanen tanpa izin resmi, dan karenanya menolak kegiatan tersebut. Massa kemudian datang, merusak fasilitas vila, membongkar salib, memecahkan kaca jendela, dan menerobos masuk ke ruang doa di lantai dua.
Seluruh peristiwa ini disaksikan langsung oleh anak-anak yang sedang mengikuti retret. Sebulan kemudian, kejadian serupa terjadi di Koto Tengah, Kota Padang. Sekelompok massa membubarkan kegiatan retret dan ibadah umat Kristen, bahkan merusak fasilitas tempat ibadah dengan memecahkan kaca jendela dan pintu.
Penolakan dan penyerangan terhadap aktivitas peribadatan kelompok tertentu kerap berakar pada kecurigaan sebagian masyarakat mayoritas terhadap ancaman perluasan pengaruh keagamaan dari kelompok yang sedang beribadah.
Ada nuansa politis dan keagamaan yang berkelindan dengan persoalan ekonomi dan sosial di balik peristiwa tersebut. Alasan yang kerap dikemukakan berkisar pada persoalan legalitas administratif tempat ibadah—seperti tidak memiliki izin resmi atau belum mendapatkan persetujuan lingkungan. Ironisnya, tindakan persekusi ini sering dibungkus dengan dalih menjaga “toleransi” atau ketertiban masyarakat.
Melihat terus terulangnya kasus-kasus seperti ini, sudah saatnya kita meninjau ulang cara memahami dan mempraktikkan toleransi beragama di Indonesia. Toleransi seharusnya tidak dimaknai sekadar sebagai bentuk pembiaran terhadap yang berbeda, melainkan sebagai pengakuan penuh atas hak setiap warga negara—apa pun agama atau kepercayaannya—untuk beribadah dan hidup damai di tanah air ini.