Membingkai Ulang Toleransi Beragama
Noorhaidi Hasan-Dok Pribadi-
Jika ada masalah dalam proses perizinan, seharusnya diselesaikan lewat mekanisme hukum dan mediasi, bukan dengan tekanan massa, intimidasi atau kekerasan. Justru pemerintah dan aparat harus memastikan bahwa regulasi ini digunakan untuk memfasilitasi, bukan menghalangi kebebasan beragama.
Dalam hal ini, pemerintah dan aparat penegak hukum perlu menegaskan keberpihakan mereka kepada keadilan substantif. Regulasi, termasuk SKB 2 Menteri, semestinya berfungsi untuk memfasilitasi praktik keagamaan yang aman dan damai, bukan untuk mempersulit atau menjustifikasi eksklusi terhadap kelompok tertentu.
Menggeser cara pandang kita dari “toleransi” menuju “kewarganegaraan beragama yang setara” bukan hanya persoalan semantik—ini adalah agenda politik dan etik yang mendasar. Kita sedang ditantang untuk membangun tata kehidupan berbangsa yang tidak hanya damai secara permukaan, tetapi juga adil dalam struktur. Dan keadilan itu hanya akan tercapai ketika setiap orang, tanpa memandang agama atau identitasnya, merasa diakui, dilindungi, dan dihormati sebagai warga negara sepenuhnya.
Membangun Keadaban Beragama
Lebih dari itu, sudah saatnya kita melampaui narasi “toleransi” yang seringkali bersifat pasif dan hierarkis, menuju konsep yang lebih substantif dan transformatif: keadaban beragama. Toleransi dalam bentuknya yang paling dasar hanya menuntut kita untuk “membiarkan” keberadaan yang berbeda.
Tetapi dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia, itu tidak lagi cukup. Kita perlu mengembangkan sikap aktif—yakni menghormati, melindungi, dan merawat hak-hak beragama setiap warga negara secara setara, tanpa prasangka atau superioritas kelompok.
Keadaban beragama adalah fondasi dari hidup bersama dalam keberagaman. Ia menuntut sikap saling menjaga, bukan sekadar saling menahan diri. Artinya, kita tidak hanya berhenti pada tidak melakukan kekerasan, tetapi juga berani mengambil sikap ketika kelompok lain dilecehkan, dimarjinalkan, atau diintimidasi karena keyakinannya. Ini adalah bentuk tanggung jawab moral dan kewargaan yang mendalam.
Nilai keadaban ini sesungguhnya telah mengakar kuat dalam khazanah budaya lokal kita. Tradisi pela gandong di Maluku mengajarkan ikatan persaudaraan lintas agama sebagai warisan leluhur. Menyama braya di Bali menekankan pada relasi antarumat yang berlandaskan kesetaraan dan solidaritas sosial.