Perhatikan “Keringol” (calon) Pemimpin-mu

Ahmadi Sopyan-Dok Pribadi-

Oleh: AHMADI SOFYAN

Penulis Buku / Pemerhati Sosial Budaya

PERSOALAN “keringol” itu bukan persoalan kecil, karena ia menyangkut perilaku dan perilaku menyangkut pola pikir dan pola pikir mempengaruhi perbuatan & keputusan. Jadi, menjelang Pilkada ini (Bangka & Pangkalpinang), perhatikan benar-benar “keringol” calon pemimpinmu…

--------------------

SAAT menulis ini, saya sedang berada di Jawa Timur. Bertemu keluarga, Mbah Yai KH. Abdul Hakim Mahfudz (Pimpinan Pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang/Ketua PWNU Jawa Timur) dan juga kawan-kawan sekolah maupun kawan semasa kuliah. Semua pertanyaan kawan-kawan diawali: “Di Bangka lagi musim apa?” saya menjawab: “Lagi musim pasang baliho, di Kabupaten Bangka dan Kota Pangkalpinang”. Hampir semuanya ternyata tahu, bahwa di 2 wilayah ini dimenangkan oleh Kotak Kosong. “Sampeyan nggak nyalon tho, Mas?” beberapa pertanyaan itu selalu muncul dan saya jawab: 

“Mau nyalon piye, salon-nya belum buka” saya jawab sambil bercanda. Hampir setiap Pemilu dan Pilkada, pertanyaan ini setiap hari saya dapatkan, baik secara langsung, telpon WA, maupun chat instagram dari kalangan anak-anak muda. Agak serius dikit, kadang saya jawab: 

“Saya ini siap jadi apapun, dan sangat siap tidak jadi apapun. Jangankan jadi Kepala Daerah, jadi Kepala Negara, jadi Kepala Rumah Tangga, Kepala Sekolah, Kepala Gank, jadi petani, jadi provokator, jadi orator, dorong motor, saya siap. Tinggal kalian siap nggak dengan orang seperti saya ini?”.

Terus terang, sebagai orang yang selalu memantau, membaca dan menganalisa serta rutin menulis berbagai persoalan di media baik cetak seperti ini maupun online, saya menyaksikan serta menilai kepemimpinan yang ada di daerah kita saat ini, membuat saya teringat dengan sebuah nasehat bijak yang mengatakan: “Dibawah pemimpin yang baik dan pintar, anak buah bodoh pun ada gunanya, tapi dibawah pemimpin yang bodoh, pasukan terbaik dan anak buah pintar pun bisa kocar-kacir…..”.

Oleh karenanya, dalam tulisan ini saya tidak menjelaskan berbagai konsep kepemimpinan ideal, tapi hanya masalah ringan yang insya Allah dapat dipahami oleh semua kalangan, yakni persoalan “keringol” atau dalam bahasa lainnya dapat diartikan yakni gaya/watak/gestur tubuh/perilaku sehari-hari. Sebenarnya persoalan “keringol” (ucapan khas orang Bangka), ini bukanlah persoalan ringan atau kecil, karena ia menyangkut pola perilaku dan perilaku itu sendiri mempengaruhi pola pikir dan pola pikir pasti mempengaruhi perbuatan dan keputusan. 

Menjelang Pilkada ulang (Kabupaten Bangka dan Kota Pangkalpinang) seperti sekarang ini, banyak hal yang harus diperhatikan oleh rakyat pemilih dalam memutuskan pemimpin daerahnya. Sudah cukup rasanya beberapa Kabupaten dan juga Kota di daerah kita ini ada yang maju lumayan, ada yang pembangunannya serta pencapaian kemajuannya jauh dari harapan, ada yang jalan ditempat bahkan ada daerah yang justru mengalami kemunduran. Ini semua tidak lepas dari siapa dan bagaimana kualitas pemimpinannya.

Tapi ingat, menjelang Pilkada seperti sekarang ini banyak “keringol-keringol” palsu yang ber-“keringak keringol” ditengah-tengah masyarakat. Oleh karenanya untuk urusan “keringol” saja, membutuhkan ilmu kecermatan guna menilainya, apakah keringol sang calon itu asli atau sekedar polesan (pencitraan). Apalagi persoalan pemahaman mereka soal kepemimpinan, wawasan kedaerahan, wawasan nusantara, Pancasila, demokrasi, jaringan (networking)-nya ke pusat, pendidikan, pengalaman, kehidupan rumah tangga, masa lalu, karyanya, mentalnya, IQ-nya, spritualnya, motivasinya dan lain sebagainya lebih membutuhkan perhatian bagi rakyat pemilih, dan semua itu akan nampak dari “keringol” sang pemimpin kala ia berhadapan langsung dengan masyarakat. Makanya rakyat harus benar-benar jeli dan seksama memperhatikan setiap langkah, gaya dan isi bicara serta “keringol”nya sang (calon) pemimpin.

Ngukur Baju Di Badan

DULU orangtua kita di kampung menasehatkan: “Nek pacak ngukor bajuk di badan” (Pandai-pandailah mengukur baju di badan). Maksudnya petuah ini adalah harus pandai membaca diri sendiri sehingga bisa menempatkan diri (posisi) dan membawa diri ditengah-tengah masyarakat agar kita menjadi manusia tahu diri. Pepatah Melayu juga mengingatkan: “Jangan karena hendak bertanduk, kepala dipahat”. Karena memaksakan diri ingin dihormati, dihargai, agar tampil didepan, sehingga terpaksa melakukan segala hal demi sebuah keinginan tersebut tanpa mampu “mengukur baju di badan” (kemampuan diri). 

Tapi era demokrasi ini semakin banyak orang yang kepengen menjadi pemimpin, padahal menjadi rakyat saja ia masih belum lulus. Banyak orang yang merasa pantas menjadi atasan, padahal menjadi bawahan saja ia suka menjilat atasan  dan menginjak kawan. Banyak orang yang merasa pantas menjadi Kepala Dinas, tapi menjadi staff saja ia memuakkan. Banyak orang yang merasa pantas menjadi Kepala Daerah, padahal menjadi Kepala Rumah Tangga saja ia kacau balau. Banyak orang yang merasa pantas menjadi penceramah, padahal ayat saja baru hafal satu potong. Banyak orang yang merasa pantas menjadi imam, tapi menjadi makmum saja sholatnya sering batal. Inilah yang kerapkali saya sebut bahwa buah dari demokrasi melahirkan manusia-manusia yang “dak ngukor baju di badan” (tidak memahami kemampuan diri). Hanya pandai berbicara kursi tapi tidak pandai menorehkan prestasi karena yang tertanam dalam pribadinya sifat “hanya karena merasa” dan “kerenyek”.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan