Antara Ideal dan Realita: Dilema Mahasiswa Akhir dalam Menyelesaikan Skripsi
Dwi Wulansari.-Dok Pribadi-
Dalam konteks ini, pemikiran Ki Hajar Dewantara terasa sangat relevan. Ia menegaskan bahwa pendidikan harus menuntun tumbuhnya kodrat manusia agar menjadi manusia merdeka, bukan menekan atau memaksa. Semangat ini seharusnya juga tercermin dalam diri dan pikiran mahasiswa untuk menjadikan skripsi sebuah proses, bukan kompetisi semata. Tetapi, dilema mahasiswa semester akhir sebenarnya menggambarkan refleksi yang lebih luas tentang pendidikan tinggi di Indonesia.
Selama skripsi masih dipandang sekedar syarat administratif, bukan proses intelektual yang mendalam, maka dilema ini akan terus berulang. Kita membutuhkan paradigma baru: bahwa kualitas pendidikan tidak diukur dari seberapa cepat mahasiswa lulus, melainkan dari seberapa bermakna proses yang mereka lalui.
Sebagai individu yang berada di persimpangan antara dunia kampus dan realitas sosial, mahasiswa semester akhir sesungguhnya sedang belajar menjadi dewasa, bukan hanya secara umur, tetapi juga secara mental dan intelektual. Skripsi adalah miniatur kehidupan: ada perjuangan, kebingungan, tekanan, dan kegigihan.
Dibalik setiap revisi, ada pembelajaran tentang kesabaran; dibalik setiap bimbingan yang tertunda, ada latihan untuk beradaptasi dengan ketidakpastian. Pada akhirnya, menyelesaikan skripsi bukan sekadar tentang menulis lima bab dan mencetaknya dalam jilid tebal. Ia adalah perjalanan menemukan diri sendiri di tengah tekanan sistem yang sering kali tidak ideal.
Skripsi menjadi simbol kecil dari pergulatan besar: bagaimana manusia bertahan di antara tuntutan dan kenyataan. Mungkin benar, tidak semua mahasiswa dapat menulis skripsi dengan sempurna, tetapi setiap mahasiswa pasti membawa kisah perjuangan yang layak dihargai. Sebab dalam proses menyelesaikan skripsi, kita belajar bukan hanya tentang teori dan metodologi, tetapi juga tentang ketulusan, tanggung jawab, dan
keberanian untuk terus melangkah meski dunia tidak selalu berpihak.
Skripsi, pada akhirnya, bukan soal seberapa cepat kita selesai, melainkan seberapa dalam kita belajar memahami diri sendiri dan dunia. Di antara ideal dan realitas, ada ruang pembelajaran yang sering terlupakan: ruang untuk menerima ketaksempurnaan dan tetap berjuang dengan cara yang manusiawi. Dan mungkin di sanalah letak sejati dari pendidikan, bukan pada gelar yang disematkan, tetapi pada proses menjadi manusia yang terus belajar tanpa henti.**