Baca Koran babelpos Online - Babelpos

Antara Ideal dan Realita: Dilema Mahasiswa Akhir dalam Menyelesaikan Skripsi

Dwi Wulansari.-Dok Pribadi-

 

Tidak sedikit pula dosen pembimbing yang kewalahan membimbing puluhan mahasiswa sekaligus, membuat interaksi akademik yang seharusnya bersifat dialogis berubah menjadi formalitas rutin. Dalam situasi seperti ini, sulit bagi mahasiswa untuk menemukan makna intelektual dari skripsinya. 

 

Masalahnya bukan hanya pada mahasiswa yang dianggap malas atau tidak disiplin, tetapi juga pada sistem pendidikan yang kurang memberi ruang bagi proses pembelajaran yang sehat. Beban administratif, keterbatasan fasilitas riset, hingga ketimpangan jumlah dosen pembimbing menjadi faktor yang memengaruhi kualitas dan semangat mahasiswa. Pada titik inilah dilema antara ideal dan realitas itu menemukan bentuk konkretnya: skripsi ideal yang seharusnya mendidik, berubah menjadi skripsi realitas yang menekan. 

 

Namun di balik persoalan struktural itu, ada dimensi psikologis yang tidak kalah penting. Mahasiswa semester akhir hidup dalam pusaran ekspektasi: dari keluarga, teman, bahkan dirinya sendiri. Tekanan untuk segera lulus sering kali datang bersamaan dengan rasa takut gagal, cemas, dan tidak percaya diri. Setiap kali melihat unggahan teman yang sudah sidang atau wisuda, rasa iri bercampur gengsi kerap muncul diam-diam. Di sisi lain, banyak mahasiswa yang memikul tanggung jawab lain seperti bekerja sambil kuliah, membantu keluarga, atau menghadapi persoalan pribadi yang membuat fokus pada skripsi menjadi semakin sulit. 

 

Budaya akademik kita, sayangnya, masih jarang memberi ruang bagi dimensi manusiawi ini. Mahasiswa yang terlambat lulus sering kali dicap tidak serius, padahal dibalik keterlambatan itu mungkin ada perjuangan yang tak terlihat. Ketika tekanan akademik tidak diimbangi dengan empati, proses pendidikan kehilangan makna kemanusiaannya. Padahal, inti dari pendidikan tinggi bukan hanya melahirkan lulusan cepat, tetapi juga pribadi yang matang secara intelektual dan emosional. 

 

Di sinilah pentingnya peran kampus dan dosen pembimbing untuk menciptakan ekosistem akademik yang lebih suportif. Skripsi seharusnya tidak menjadi ajang pembuktian semata, melainkan ruang belajar yang penuh interaksi dan empati. Dosen bukan sekadar evaluator, tetapi juga mentor yang menuntun mahasiswa memahami proses berpikir ilmiah dengan sabar. 

 

Kampus pun perlu meninjau ulang kebijakan yang membuat mahasiswa lebih sibuk mengurus tanda tangan daripada membaca literatur. Dengan sistem yang lebih fleksibel dan manusiawi, skripsi bisa kembali menjadi pengalaman belajar yang bermakna, bukan trauma kolektif tahunan. 

 

Namun tentu, refleksi ini juga menuntut kesadaran dari pihak mahasiswa. Ada kalanya realitas tidak dapat diubah sepenuhnya, tetapi sikap terhadap realitas itu bisa dimaknai ulang. Mahasiswa perlu belajar menyeimbangkan idealisme dengan pragmatisme. Tidak ada salahnya memiliki standar akademik tinggi, tetapi juga perlu disadari bahwa kesempurnaan tidak selalu sejalan dengan keterbatasan waktu dan tenaga. Skripsi bukan tentang menciptakan karya sempurna, melainkan tentang proses belajar memahami metode ilmiah, berpikir sistematis, dan bertanggung jawab atas hasilnya.  

 

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan