Ketika "Tuan" Digugat
Fakhrudin Halim.-Dok Pribadi-
Tengoklah, lanjut si penelepon, selama 20 tahun terakhir timah yang dicuri dari Bangka Belitung yang berpenduduk tak lebih dari 1,3 juta jiwa itu, setiap tahunnya sekitar Rp 45 triliun atau Rp 900 triliun. Artinya setiap tahun Bangka Belitung menghasilkan duit dari timah saja senilai Rp 45 triliun. Ke mana duit itu? Berapa bagian Bangka Belitung?
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung selama ini, hanya secuil cipratan menerima dengan terpaksa duit hasil timah. Lalu dari mana Pendapatan Asli Daerah (PAD) untuk membiaya pembangunan? Terbesar adalah dari masyarakat itu sendiri. Tak peduli ia kaya atau miskin. Yaitu yang terbesar adalah disumbang dari pajak kendaraan bermotor.
Kalau dari timah, mau sampai kapan pun, kalau aturannya tidak diubah, Bangka Belitung hanya pemeran figuran dalam film drama kolosal. Meski pun hasil bumi melimpah, ternyata tidak terlalu diperhitungkan.
Bangka Belitung, bukanlah Aceh, Yogyakarta, DKI, 6 provinsi di tanah Papua yang digelari dengan Otonomi Khusus. Untuk diakui sebagai Daerah Kepulauan bersama 7 provinsi lainnya saja, sampai sekarang tidak ditoleh. Buktinya hingga kini RUU Daerah Kepulauan meski sejak awal sudah masuk Prolegnas tak jua diketok, disahkan.
Usai panjang lebar itu, saya jelaskan tak bermaksud demikian. Tak ada niat untuk menempatkan relasi feodalisme dalam kata "Tuan".
Kata "Tuan" dalam artikel itu semata-mata dari sisi kebudayaan Melayu dalam memanggil seseorang yang dihormati. Tuan untuk laki-laki dan Puan untuk perempuan. Jadi Tuan dan Puan adalah dalam konteks kebudayaan Melayu. Sama halnya "Mas" atau "Mbakyu" dalam kebudayaan Jawa, atau dalam bahasa Inggris "Sir" dan "Madam". (*)