Baca Koran babelpos Online - Babelpos

Ketika "Tuan" Digugat

Fakhrudin Halim.-Dok Pribadi-

Dari sekian pertanyaan lewat telepon dan pesan, ada satu yang pertanyaan aneh. Di luar ihwal duit. Ama sekali tak menyinggung soal duit, soal kas daerah, soal moneter dan fiskal. Tajam sekali.

 

Orang itu menggugat satu kata di judul artikel. Rupanya ia terusik dengan penggunaan kata itu. Pendeknya, mengapa saya menggunakan kata "Tuan"? Tidakkah itu artinya ada ketidaksetaraan, sangat feodal bahkan sedari awal menempatkan pembaca dalam posisi yang "hina".

 

Ini persis seperti tuan dan hamba sahaya. Atau tuan dan budak.

 

Jadi kalau artikel itu, konteksnya adalah masyarakat Babel yang bertanya atau Provinsi Kepulauan Bangka Belitung ke Purbaya dalam hal ini adalah Pemerintah Pusat, maka terkesan menempatkan "kita" sebagai "hamba sahaya", "jongos" bahkan memosisikan sebagai "budak".

 

Sedangkan Purbaya yang menjadi representatif Pemerintah Pusat adalah sebagai "bos", "tuan" yang punya kekuasaan atau otoritas obsolut, pasti "benar". Sehingga relasi antara Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dengan Pemerintah Pusat, menurut si penelepon adalah bisa ditafsirkan antara "Tuan" dan "Budak". 

 

Si penelepon melanjutkan, tengoklah. Meski pun data itu bisa salah atau memang tidak benar, tapi data itu penghinaan. Masa duit Pemprov Babel cuma Rp 2,1 triliun. Ada di peringkat 13. Kalah dengan duit sejumlah kabupaten kota.

 

Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, termasuk provinsi miskin. Mengapa demikian? Ke mana duit hasil kekayaan alamnya?

 

Nah, di sinilah relasi feodal itu berlaku. Mana ada "hamba sahaya"-"jongos"-"budak" itu kaya. Meski pun mereka memeras keringat, banting tulang, punya lahan, punya laut, punya timah, punya logam tanah jarang. Yang menguasai dan mengendalikan sudah pasti "Tuan". Selain itu, ada juga "Tuan" swasta.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan