Mimpi
Kristia Ningsih.-Dok Pribadi-
Oleh Kristia Ningsih
Baru saja bangun, putri saya yang masih balita langsung menangis. Ia seperti marah dan kesal karena sesuatu. Susu kemasan yang biasa kami sajikan untuk sarapan tak langsung diminumnya. Sedotan susu ia lempar ke lantai. Tangan ayahnya ia gigit. Tangis terhenti dan tertahan, seolah masih ada perasaan yang belum selesai.
Sudah sekitar 45 menit pasca sulung bangun, ia masih terbawa sedih. Pada anak lima tahun, tentu menyuruhnya diam tanpa empati pada perasaannya sama sekali bukan solusi. Anggap saja melatih regulasi emosi anak.
Bicara tentang mimpi dalam Islam, tidak lepas dari Muhammad Ibnu Sirrin. Tafsir-tafsir mimpinya dari semasa hidup hingga wafat (653-728 M) dibukukan menjadi buku Tafsir Ahlam (Mimpi Menurut Al-Qur’an dan Sunnah). Buku ini menyarankan untuk tak memusingkan mimpi buruk. Hal ini berangkat dari, “Sesungguhnya pembicaraan rahasia itu adalah dari setan, supaya orang-orang yang beriman itu berduka cita, sedang pembicaraan itu tiadalah memberi mudharat sedikitpun kepada mereka, kecuali dengan izin Allah dan kepada Allahlah hendaknya orang-orang yang beriman bertawakal.” (QS. Al-Mujadilah: 10)
Kita barangkali ingat sejarahnya kurban dalam Islam. Semuanya berawal dari Nabi Ibrahim AS bermimpi menyembelih putranya, Nabi Ismail AS. Di sisi lain, mimpi sujudnya sebelas bintang, matahari, dan bulan kepada Nabi Yusuf. Terhadap hal itu, sikap Nabi Yakub AS disebut dalam Al-Qur’an Surah Yusuf: 5, “Ayahnya berkata, ‘Hai anakku, janganlah kamu ceritakan mimpimu itu kepada saudara-saudaramu, maka mereka akan membuat makar untuk membinasakanmu.’” Artinya, mimpi sebaiknya hanya diceritakan kepada orang yang menyayangi kita atau orang yang berilmu.
Seorang penafsir mimpi bersyaratkan: seperti paham Al-Qur’an, hadis, memahami bahasa Arab, belajar astrologi, belajar tafsir mimpi, saleh, beradab, terus terang, dan semua syarat itu akan hanya ada pada seseorang atas izin Allah. Selain itu, ketika mendengar mimpi orang lain, sikapnya sebaiknya menyebutkan bahwa itu mimpi yang baik. Kedua, as-Silsilah ash-Shahihah menyebutkan bahwa mimpi adalah sesuatu yang jika ditafsirkan akan terjadi seperti kaki yang belum menapak pada tanah yang akan meninjaki tanah. Ketiga, penafsir memberi terjemahan yang mudah dipahami. Lalu, ia berhati-hati dalam meneliti mimpi. Kemudian, tidak mengumbar mimpi orang lain. Keenam, memperlakukan mimpi sesuai pemiliknya. Misalnya, mimpi yang sama antara seorang raja dan seorang rakyat tentu tidak sama tafsirannya. Terakhir, sampaikan jika itu mimpi baik, dan terhadap tafsiran mimpi buruk sebaiknya sampaikan bagian baiknya saja.
Mimpi sendiri dapat ditafsir hanya bila seseorang tersebut jujur perkataannya, tidak sedang terlalu memikirkan sesuatu, berwudu dan berdoa sebelum tidur. Begitu pun mimpi buruk terjadi, seseorang cukup melakukan sunah: mengubah posisi tidur, bertaawudz, “Aku berlindung kepada Allah dari godaan syetan yang terkutuk,” lalu meludah tiga kali ke sisi kiri (Syekh Abbas dkk, 2009).