Rahasia Ibadaha Haji
Iswandi Syahputra-Dok Pribadi-
Namun, makna hakikat tertib sebagai mendahulukan yang dahulu adalah, mendahulukan berhakikat kepada Rasulullah Muhammad Saw sebagai ciptaan pertama (Awwal al-Khalq) yang dahulu ada, setelah itu kemudian kita berbuat, seperti mulai berbicara, berpendapat, dan sebagainya. Praktiknya, “pulang“, kemudian “pergi“.
Yang pulang adalah ruhani kita dengan cara mengingat Rasulullah Saw yang dahulu ada di Baitullah, setelah itu hati, ucapan, dan perbuatan beramal sesuai petunjuk yang datang daripada Rasulullah Saw. Kuncinya, jangan terburu-buru dalam melakukan perbuatan apapun. Timbang rasa, rasa dipakai sebagai pertimbangan. Ingat (Zikir), kemudian berbuat. Inilah yang disebut tertib dalam setiap perbuatan.
Derajat Haji Mabrur/rah
Dengan demikian, seorang yang pulang ibadah haji dari tanah suci sebenarnya secara batiniah baru saja pulang bertemu Allah Swt dan Rasulullah Saw di Baitullah dan kemudian pergi kembali ke kampung dunia yang fana. Proses ini secara mikrokosmis merupakan perjalanan ke dalam, bukan keluar. Perjalanan ke diri sendiri untuk menilai, mengoreksi dan menimbang rasa, bukan menilai orang lain.
Sebuah proses dinamis, berubah, dan bergerak terus berlangsung sepanjang hayat manusia. Proses ini merupakan jalan jihad peperangan paling berat yang dalam setiap diri manusia. Sementara yang namanya manusia memiliki hawa, nafsu, dunia, dan syetan.
Perang melawan hawa, nafsu, dunia, dan syetan yang juga bersemayam dalam diri manusia inilah ujian paska haji yang harus dilalui untuk mencapai derajat haji mabrur/rah.
Sehingga ukuran mikrokosmis yang paling kecil apakah kita sudah mencapai derajat haji mabrur/rah, adalah hati kita masing-masing. Selain Allah Swt, kitalah yang paling mengetahui keburukan diri kita masing-masing.
Sepandai-pandai kita merahasiakan suatu prilaku kepada orang lain, rahasia tersebut tidak akan lolos dan luput dalam hati. Sebab hati memiliki kekuatan dan paling otoritatif untuk mencatat semua perilaku yang dirahasiakan.