CERPEN MARHAEN WIJAYANTO: Surga di Telapak Kaki Ayah

Kamis 24 Oct 2024 - 21:51 WIB
Reporter : Budi Rahmad
Editor : Budi Rachmad

 

Jawaban ayah bukan lagi menghindari pertanyaan seputar pernikahan ibu, namun ayah  benar-benar tenang dengan kondisi rumah saat ini. Ayah yang sembari menikmati masa pensiun, sama sekali tak tertarik menjawab pertanyaan yang sifatnya membuat keruh, justru ayah lebih tertarik berdebat tentang konflik di negara sahabat di timur tengah.    

 

“Di sana ada cadangan minyak banyak, hingga negara barat ingin menjajah.”

 

Ayah kembali membolak-balikkan koran nasional yang tak pernah berhenti mampir ke rumah. Saat sore hari, beberapa kawan sengaja mampir hanya untuk mendengar kabar baik tentang Jalur Gaza. Para sahabat melontar tanya usik keberadaan ibu bersama lelaki lain, tapi tetap saja hal itu tak membuat ayah bergeming. 

 

“John, kamu tak tertarik menikah lagi? Itu istrimu sudah hamil oleh suami mudanya!”

 

Saya tersedak mendengar ibunda hamil dengan suami mudanya. Tumpahan air di gelas membasahi seragam SMA yang sudah saya setrika rapi dan wangi. Di usia ibu yang sudah lima puluh, ternyata beliau masih bisa dibuahi oleh suami yang usianya masih beranjak tiga puluhan.

 

Pak Guru Biologi kemarin membahas tentang alat reproduksi wanita. Lalu saya membolak-balikan buku paket, sembari mencari tahu, di usia berapa wanita masih bisa dibuahi. Buku setebal 500 halaman ada di tangan, tapi saya tak gentar. Saya tak menyerah mencoba mengalahkan rasa penasaran, lalu terus membolak-balikkan buku materi alat reproduksi yang kebetulan sekarang ini jadi bahasan panas dalam otak saya. Betapa sehat badan ibu, bisa dibuahi di usia yang tak lagi muda.   

 

Namun, lagi-lagi ayah bercengkerama dengan koran nasional dan lebih tertarik membahas Rumah Sakit Indonesia yang dibom oleh musuh. Ayah menganggap tragedi kemanusiaan lebih menarik dibandingkan tragedi rumah tangga.  Berita ibu yang hamil bukanlah perihal yang perlu dipikir oleh ayah, selagi rumah yang kami punya masih memberi rasa damai dan bebas membahas pertumpahan darah di Timur Tengah. 

 

Ayah sudah seperti rumah bagi kami. Beliau seteduh rumah yang kami tiggali. Membuat kami nyaman. Kami  seperti beberapa burung cantik peliharaan ayah berkicau dan bernyanyi, menemani ayah melupakan beban hidup keluarga semenjak ibu pergi beberapa bulan lalu. Adakalanya jua teman lama ayah menyambangi sembari membawa burung beo yang sangat pandai bernyanyi. Burung itu jarang bernyanyi lagu sendu, hingga ayah tak pernah hirau dengan pertanyaan kawan tentang perkawinan kedua ibu dengan suami mudanya. 

Tags :
Kategori :

Terkait