Ayah ikut terbahak. Tampaknya dia berhasil menang melawan berita miring yang terjadi di rumah kami. Seketika ayah dan sahabat kembali bercengkerama. Mengkritik, menghujat, atau menulis tentang kebobrokan kebijakan luar negeri menjadi topik biasa di rumah kami.
Di koran nasional, anak kecil kehilangan orang tuanya yang ada di reruntuhan bangunan. Esoknya dia berhasil dievakuasi dengan simbah darah di kepalanya. Kawanan regu penolong mengelap darah itu. Namun karena lukanya terlalu lebar, terpaksa ia dilarikan ke reruntuhan rumah sakit Jalur Gaza milik Indonesia yang sudah tak berbentuk.
“Kamu punya rumah yang teduh, sedangkan mereka tinggal di lubang-lubang sempit. Hanya sekadar menghindar dari bom atau serangan rudal. Kamu punya harapan esok untuk menebar benih kebaikan, sedangkan mereka tak mendapat kabar kepastian, besok masih hidup atau mati.”
Betapa nikmatnya hidup di negara yang apa-apa rakyatnya minta disuapin pemerintah dengan BLT. Sistem di negara yang selalu saja menciptakan ikan-ikan, bukan menciptakan pancing.
Harapan selamat di Gaza seperti barang mahal. Berbeda dengan kanan kiri rumah kami yang dipenuhi ibu-ibu sedang ngerumpi.
Mereka terlalu menikmati kebijakan pemerintah yang memanjakan rakyatnya dengan bantuan langsung tunai. Hingga yang keluar dari mulut mereka adalah kondisi rumah tangga kami yang mereka anggap justrru lebih kacau dibanding Jalur Gaza.
“Ayah, jika ibu hamil, berarti saya mau punya adik lagi ya?”
“Nak, di Palestina banyak anak kehilangan ibu karena tubuhnya hancur berkeping.”
Lagi-lagi berita terbaru di Jalur Gaza lebih menarik alur pikir di rumah kami dibanding dengan ibu yang hendak melahirkan anak dari suami mudanya. Ayah tak peduli dengan keresahan di kanan dan kiri rumah. Bagi ayah, gosip tak berguna tetangga adalah akibat dari bantuan-bantuan tunai yang sifatnya tak membuat masyarakat semakin cerdas dan mendidik.