Oleh: AHMADI SOFYAN
Penulis Buku / Pemerhati Sosial Budaya
SARJANA “napeng lecak” lebih mulia dibandingkan sarjana “nucok lulong” pejabat. Sarjana “nyurong kerito surong” jauh lebih mulia dibandingkan sarjana yang merongrong uang negara dari kantong penguasa dan pengusaha.
--------------
TEPAT di tahun baru beberapa tahun silam, saya menyetir mobil sendirian di malam hari mengelilingi beberapa Kota di Jawa Timur, saya sempatkan juga ziarah ke Makam Bung Karno di Blitar dan Gus Dur di Jombang. “Bung Karno dan Gus Dur adalah contoh bagi kita yang masih hidup. Mereka sudah terkubur saja masih memberikan kehidupan bagi orang yang masih hidup. Mereka ini hidup dan matinya membawa berkah bagi orang lain. Berapa banyak orang meraup bisnis dengan berdagang di sekitaran makam? Karena setiap hari ratusan bahkan ribuan orang silaturrahim ke makam mereka. Lho kita yang hidup? Satu hari ada berapa orang yang silaturrahim datang ke rumah kita?” ungkap saya sambil menyeruput segelas kopi bersama Mas Andre di sekitar pemakaman Makam Bung Karno. Mas Andre ini mantan karyawan kampus STIBA Malang yang paling sering saya hutangin duitnya waktu semasa kuliah dulu dan kini tinggal menetap beberapa meter saja dari kawasan Makam Presiden Pertama RI itu. Kami berdua sama-sama mendapatkan pasangan hidup berasal dari Blitar.
Sebelumnya kedatangan saya di Malang sempat diminta mengisi diskusi bersama adik-adik PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) Kota Malang dan Seminar Nasional di Gedung KNPI Kota Malang yang diadakan HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) Cabang Malang. Dalam Seminar tersebut, saya yang dari pelosok kampung ini diduetkan dengan Praktisi Pendidikan Kota Malang sekaligus Dosen saya sewaktu “nyantri” di Kampus IKIP Budi Utomo, Dra. Umi Salamah, M.Pd. dan Pakar Pendidikan, Dr. Arifin, M.Pd. Seperti biasa, tema yang diberikan oleh adik-adik HMI ini “super mewah” dan untuk ukuran saya sangat menakutkan: “Pendidikan, Proses Transformasi Menuju Generasi Bangsa Berintelektual Tinggi, Nasionalis dan Berdaya Saing – Resolusi Indonesia Lebih Berdaulat”. Karena “diwajibkan” membuat makalah oleh Panitia, akhirnya kenyamanan saya menginap di Villa Batu Malang sedikit “terganggu” karena harus membuat makalah mengenai sesuatu yang saya sendiri sulit untuk memahaminya, akhirnya makalah saya pun berjudul: “Pendidikan Tambal Sulam dan Mental Sarjana Indonesia”.
Mengatasi persoalan pendidikan ternyata tidak cukup dengan hanya mengubah secara tambal sulam hal-hal di permukaan seperti perubahan kurikulum, pelatihan guru, perbaikan infrastruktur, tetapi juga harus dimulai dari pengubahan orientasi dan filosofinya. Beberapa persoalan serius dalam dunia pendidikan Indonesia seperti ketidakjelasan dasar dan arah pendidikan, kurikulum yang mudah berubah (tergantung siapa Menteri-nya), mutu dan distribusi guru yang belum merata serta kurangnya dukungan finansial terhadap penyelenggaraan pendidikan.
Hingga saat ini, pendidikan kita tidak jarang hanya asal memenuhi standar global tertentu. Memang terdapat keuntungan materi yang tinggi dari hasil proses standarisasi itu, tetapi pendidikan bisa kehilangan jiwanya, kehilangan rasa kasih sayang dan kehilangan berbagai nilai kemanusiaan. Selain itu, sudah seharusnya negeri yang kaya akan budaya ini, pendidikannya berbasis kebudayaan yang memiliki fleksibilitas dalam beradaptasi terhadap ruang dan waktu masa kini. Kedepannya, pendidikan kita seyogyanya mengarah pada pencapaian kebahagiaan sebagai prestasi tertinggi belajar dan berorientasi pada upaya menghasilkan manusia terampil yang menguasai pengetahuan serta menguasai kehidupan sosial kemasyarakatan.
Pergeseran orientasi pendidikan tinggi dari sistem pendidikan Eropa Continental ke sistem Amerika telah melahirkan manusia-manusia pragmatisme, berbanding lurus dengan formalisme dan materialisme yang bertahan hingga saat ini dalam setiap denyut kehidupan masyarakat kita. Dari gaya pendidikan berbasis formalisme yang berhubungan timbal balik dengan materialisme, maka dalam kondisi itu formalisme dan materialisme pendidikan bersambung dan menjadi pendukung berkembangnya budaya populer seperti yang sekarang ini terjadi.
Oleh karenanya hingga saat ini, pergumulan pendidikan kita ternyata hanya menyentuh permukaan. Tidak ada pembentukan karakter maupun pencapaian kebahagiaan, yang semestinya menjadi prestasi tertinggi belajar. Pendidikan untuk anak-anak Indonesia seharusnya bukan hanya meliputi proses pembelajaran untuk MENGETAHUI, tapi juga pembelajaran untuk MENGALAMI.
Seharusnya kesuksesan sebuah lembaga pendidikan tidak hanya berpikir seberapa banyak “menelorkan” sarjana bertoga, tapi seberapa banyak para sarjana-sarjana tersebut mampu mengaplikasikan ilmu yang ia dapatkan selama menempuh pendidikan di kampus yang memberikan manfaat nyata bagi masyarakat, bukan menjadi beban masyarakat (pemerintah). Oleh karenanya, pendidikan kita seharusnya mampu menciptakan sarjana yang siap ditempatkan dimana pun dan dalam kondisi apapun dengan berpegang teguh pada nilai-nilai nasionalisme. Pendidikan kita seharusnya tak menciptakan sarjana-sarjana manja yang harus kembali mengeluarkan uang (menyogok) demi mendapatkan pekerjaan sebagai abdi negara (PNS), tak perlu menggunakan jaringan (nepotisme) biar mendapatkan pekerjaan.
Kaum pendidik seharusnya mampu menanamkan dalam pribadi-pribadi anak didik bahwa sarjana itu adalah orang yang membuat pekerjaan bukan melamar pekerjaan. Sarjana itu adalah BOSS bukan JONGOS. Sarjana adalah PELOPOR bukan PENGEKOR. Sarjana itu bukan sekedar generasi PENERUS tapi harus menjadi generasi PELURUS. Sarjana itu adalah orang yang berani mendorong gerobak bakso, gerobak siomai, gerobak pempek, gerobak batagor, gerobak gorengan, tapi berani berdiri tegak dalam kemandirian, bukan yang rajin membawa map berlipat-lipat, bukan yang hobi membawa proposal pengajuan dana kemana-mana demi mengharapkan recehan uang negara dari kantong penguasa dan pengusaha.
Sarjana itu adalah orang yang berani mengolah kemauannya untuk mandiri. Menarik orang lain untuk siap bekerja tanpa memandang status pendidikan sehingga kemandirian mampu terciptakan di lingkungan dimana ia berada. Sarjana adalah pioner kemandirian karena ia telah dididik bertahun-tahun untuk mengolah otak dan mengolah rasa, bukan sekedar memindahkan teori dari halaman-halaman buku tebal ke kertas ujian tanpa praktek nyata.
Sarjana itu adalah orang yang siap ditempatkan dimanapun, dalam kondisi apapun dan melakukan pekerjaan apapun, sekalipun bergumul dengan lumpur di sawah (Napeng Lecak). Karena dari lumpur-lumpur itulah Anda-anda mahasiswa berasal sehingga dapat meraih predikat maha, yakni mahasiswa dan menjadi sarjana. Kalau Anda-anda yang berpredikat mahasiswa dan sarjana berani dan siap melakukan itu semua, dijamin Anda lebih berani dan lebih siap untuk sekedar menjadi Bupati, Walikota, Gubernur, Menteri, Ketua Partai, apalagi cuma untuk jadi Presiden!
Bung Karno, Gus Dur, Wali Songo dan ulama-ulama terkemuka lainnya adalah contoh dimana mereka mampu memberikan manfaat bagi kehidupan, karena mereka memiliki nilai semasa hidupnya, bahkan sudah mati pun mereka masih membawa berkah (manfaat). Sedangkan kita masih hidup saja sudah jadi beban keluarga, beban lingkungan dan beban Pemerintah.