“Ada apa, Nak?” tanyanya kepada Rian setelah Rian hampir menumbur dirinya. Rian mendongak. Wajah bapak itu begitu teduh. Pancaran kebijaksanaan melekat di matanya. Rian tak ingin memberitahu takut bapak di hadapanya marah. Namun, karena ini adalah masjid tempat untuk beribadah, Rian memberanikan diri.
“Maaf, Pak tadi saya barusan ke toilet tapi kok aromanya sangat tidak sedap ya.” jawab Rian jujur. Bapak itu tersenyum. Diajaknya Rian duduk di bawah sebuah pohon yang cukup besar di samping masjid. Rian mengembuskan napas perlahan-lahan. Benar-benar kejutan yang tak terduga.
“Kamu bukanlah orang pertama yang protes tentang hal itu. Sudah sering kali kejadian ini terjadi. Kami juga tidak mengerti bagaimana caranya lagi untuk mengajak dan menegur siapa saja yang akan ke toilet hendaknya mengikuti prosedur yang sudah diinfokan di dinding toilet.”
Pak Rusli, sebagai salah satu pengurus masjid di kampung itu lalu bercerita panjang lebar. Bagaimana kebiasaan masyarakat di sekitar kurang menghargai kebersihan. Dia selalu memberi petuah, wejangan, kadang dimasukkan ke dalam khotbah Jumat untuk mengajak masyarakat terbiasa mencintai kebersihan.
BACA JUGA:CERPEN: Tak Ada Lagi Lahan Kosong untuk Kuburanku Nanti
“Sayang sekali Pak kalau masyarakat tidak melaksanakan salah satu hadis. Maaf Pak bukan maksud saya menggurui tapi bukankah kebersihan itu juga sebagian dari iman. Kita sibuk salat berjamaah mengejar akhirat dan sebagainya tetapi kita lupa poin penting untuk salat adalah kebersihan.” Rian mencoba mengemukakan argumennya. Kebiasaannya ikut pemuda masjid di tempat kelahirannya tidak sia-sia. Ia tahu beberapa hal yang menyangkut ibadah.
“Tuhan mencintai kebersihan. Itulah mengapa kita harus bersih dalam beribadah. Benar kan Pak?” Rian menumpahkan kekesalannya.
Halaman masjid kini lengang. Pak Rusli tersenyum mendengar Rian.
“Anak muda seperti adik memang langka. Kadang banyak yang tidak peduli. Soal toilet ini pun kami jadi serba salah. Marbut masjid sudah berapa kali berganti. Bukan masalah gaji namun itu tadi mereka jadi enggan untuk terus menyikat dan membersihkan bau yang tidak sedap itu setiap hari.” Pak Rusli lantas menghitung beberapa nama marbut masjid yang sudah mengundurkan diri menolak untuk bagian sikat-menyikat toilet.
“Saya pun kadang bantu menyikat. Eeh, pas sudah bersih besoknya nanti ada lagi aroma itu. Entah masyarakat sini entah orang luar yang numpang, saya juga bingung.” tambahnya dengan nada datar.
BACA JUGA:CERPEN: Kebaikan Hati Si Beruang Madu
“Tidak dipasang kamera pengawas pak?” selidik Rian. Lagi-lagi Pak Rusli tersenyum.
“Tidak perlulah kalau kita semua menjaga kebersihan dan tahu makna kebersihan itu apa.” Dialog mereka terputus. Rian permisi untuk melanjutkan perjalanan. Pak Rusli meminta Rian untuk kembali kapan-kapan di masjid itu. Rian mengangguk. Rian menyalami Pak Rusli lalu kembali ke mobil.
Masih terasa lengket aroma pesing itu di hidung Rian. Merasa kurang nyaman dia lantas membeli minuman untuk mengurangi mual. Rian melihat beberapa rumah penduduk tampak cukup bagus. Tidak masuk akal kalau mereka tidak memiliki toilet di rumahnya.
Tak lama berkendara, Rian sampai ke lokasi yang sudah ditunggu oleh Pak Bujang. Selepas mengecek kebun cabai Pak Bujang, Rian bergegas untuk kembali pulang. Memang rute yang panjang dan melelahkan. Jarak tempuh yang lama serta akses jalan satu-satunya adalah pilihan yang harus dilalui.
Jarak antarkota yang berkisar 138 km itu dilalui dengan santai. Kali ini Rian tak ingin salat magrib di masjid besar. Rasa kecewanya masih berbekas. Ekspektasi dengan sesuatu yang diinginkan seringkali berbanding terbalik dengan kenyataan.