Di musim timah yang sedang lesu, tak peduli dengan piring kosong isi nasi bercampur garam atau dompet sudah kembang kempis. Asal ada kesempatan cari duit, di sanalah mereka beraksi. Ibarat pepatah ada gula ada semut.
Para pencari untung beraksi seperti menebar maut. Timah yang dari dulu menjadi dambaan, sekarang sudah menggantung di langit tanpa seorang pun yang mampu menggapai. Mungkin dia sudah diambil bidadari yang bermutasi ke luar negeri.
Sementara si bungsu tertembak duit seragam, Mang Lapan mengandalkan anak gadis sulungnya yang guru ngaji. Lima tahun setelah lulus SMA ia habiskan untuk membantu berjualan sembari mengajari anak mengaji.
Di serambi musala, tampak si gadis berhijap itu kesepian menanti anak-anak. Di masa sulit ini, berbulan-bulan dia hanya mengajari dua tiga anak, tapi setelahnya tak tampak anak-anak itu. Mereka sudah bergabung dengan para gembong pasar untuk mencuri.
Di kala musim timah sedang ramai, si gadis sulung anak Mang Lapan menanti kedatangan anak-anak mengaji sembari berjualan kue dan jajanan. Uang jajan anak-anak yang berwarna merah atau biru benar-benar membuatnya jadi penunggu semangat berbagi.
BACA JUGA:9 Hambatan dalam Menulis dan Solusinya, Nomor 4 Kerap Terjadi Pada Siapa Saja
Beda dulu beda sekarang. Kala musim timah sepi, uang saku anak-anak cuma lembaran 2000-an, bahkan kadang kue si gadis tak laku sama sekali. Anak -anak yang dahulu rajin mengaji, berubah jadi alat para preman untuk mencuri di malam hari. Mereka sama sekali tak mengenali si Gadis gurunya mengaji.
Si gadis manis anak Mang Lapan penghuni serambi surau pun lambat laun tak tampak, seiring dengan hilangnya anak-anak pemilik senyum manis. Timah yang sepi membuat tiap malam ia dijemput lelaki tambun bermobil mewah, tak berbekas kalau dia guru mengaji.
“Kalau tidak begini, dari mana kami membayar uang seragam masuk sekolah yang selangit? Memangnya pemerintah bisa beri duit berapa? Dari hasil selingkuh inilah, kami sekeluarga bisa hidup!” Mang Lapan memberi keterangan pada petugas.