Masih untung sinuitis di hidung saya tak kumat karena aroma ikan teri goreng dan sambal terasi itu seperti menyindir ekonomi yang melemah.
BACA JUGA:PUISI PUISI BASTRA SMAN 1 SUNGAILIAT
Sudah orang tua tak ada penghasilan, sekarang ini bertepatan dengan masuk ajaran baru. Pemilik warung sepi itu hendak menyekolahkan anaknya ke SMP.
Nota bayar masuk ia buka sehelai demi helai. Wajah was-was semakin jelas tersirat. Bukan lagi harapan, namun dengan kepanikan-kepanikan. Di sana sudah menghadang angka-angka yang membuat orang tua bingung dengan apa mereka membayarnya.
Saya sendiri jika dihadapkan pada angka nol yang semakin banyak di sisi kanan, kepala saya pusing karena itu pertanda uang tagihan seragam semakin besar dari tahun ke tahun.
“Sudah tahu mahal, kenapa sekolah di sini?!” kata salah satu guru yang sangat galak dan disegani.
Langkah kaki keluarga Mang Lapan sudah mantap karena anak bungsunya hendak masuk SMP unggulan, tapi apadaya, langkah itu dihadang oleh biaya seragam melangit. Apakah mereka tidak tahu, dengan biaya seragam berdigit-digit, banyak orang tua yang kesulitan mencari duit apalagi di era timah yang sangat sulit?
Sambal terasi di rumah-rumah warga semakin nikmat apalagi dicampur dengan ikan asin yang matanya melotot ke atas. Kata tetangga, itu pertanda mereka ditangkap secara paksa.
BACA JUGA:PUISI-PUISI HARI KARTINI SISWA SMAN 1 SUNGAILIAT
Ikan yang matanya melotot ke atas sudah tak dapat menghindari tangkapan orang-orang kesusahan karena timah sulit. Ikan asin itu sudah jarang terlihat mati dalam keadaan tersenyum, seperti kala harga timah naik.