Pada bait ketiganya “wakul ngglimpang” yang memiliki arti bahwa bakul yang diletakkan di atas kepala tadi jatuh. Setelahnya, lirik dilanjutkan dengan kata “segane dadi sak ratan”, yang memiliki arti nasi yang berada di bakul tadi ikut tumpah dan akhirnya berceceran ke mana-mana.
Dalam konteks kepemimpinan bernegara, dimaknai bahwa jika seorang pemimpin masih “gembelengan” dalam menjalankan amanah, maka yang terjadi adalah dirinya bisa jatuh, dan segala yang ada di dalam bakul, yaitu sumber daya, kekayaan negara, dan lain sebagainya akan ikut tumpah. Rakyat tidak ikut menikmati, hanya diberikan Bansos dan itu pun atasnama pribadi bukan negara.
Lagu “Gundul-Gundul Pacul” bukan sekedar syair Jawa bernada, tapi ia ini berisi peringatan untuk para pemimpin negara agar mereka tidak boleh sembrono dan seenaknya sendiri dalam menjalankan amanah yang telah diberikan kepadanya. Karena pemimpin yang sembrono dalam menjalankan kekuasaannya hanya akan membuat seluruh tatanan dan aturan masyarakat menjadi rusak dan menyebabkan kondisi negara menjadi sulit, bahkan tak terkendali. Kebodohan pemimpin seperti ini tak boleh dilanjutkan, apalagi dengan joget dan aksi plonga-plongo mencari jawaban yang jauh dari etika dan sama sekali tidak mewakili anak muda yang berjiwa leader. Tapi cukup mewakili anak muda berjiwa dealer.
Pilkada 2024, kita berharap melahirkan pemimpin gundul-gundul pacul yang benar berada dibawah rakyat, nyunggi wakul untuk kepentingan rakyat yang dipimpinnya. Tapi, kecil kemungkinan sebab nampak Pilkada 2024, masih transaksional. Begitulah nyatanya.
Ah, sudahlah! Memang negeri sudah seperti showroom, siapa yang berduit bisa membeli, yang jelata cukup nelan air liur saja melihat keindahan kendaraan yang dipamerin. Sedangkan kritikus seperti saya “ngerbes” rambut dikepala sampai gundul.
Salam Gundul!!