Hari itu sudah menjelma menjadi kemarin, matahari yang malamnya pulang, kembali lagi hari ini dengan warnanya yang baru, aku masih mengisi amunisi dengan roti bakar sisa yang kubelikan kemarin saat meninggalkan rumah dan secangkir kopi susu yang akan kuhabiskan sebentar lagi.
BACA JUGA:CERPEN: Kebaikan Hati Si Beruang Madu
Duduk cantik di depan jendela menikmati akhir pekan dengan melupakan ruangan kemarin yang dihamburkan Dun masih belum ditangani.
Dun keluar dari kamarnya dengan tas bulu yang sangat tak sebanding dengan tubuh besarnya, rambutnya tersisir rapi dan mengkilat memancarkan cahaya mentari dari balik jendela, jarang kali ia mengenakan pakaian yang sudah digosok seperti hari ini, seolah hari yang istimewa.
“Kakak, ayo!” pintanya dengan senyum memelas yang selalu ia tampilkan di hadapanku.
Tak sampai hati melihat senyum dan persiapannya yang seolah sudah disiapkan dari pagi buta, aku hanya bisa mengiyakan permintaan sederhananya untuk kesekian kali.
Aku dan Dun berjalan kaki ke lapangan desa, Anak-anak tetangga sudah berkumpul sedari tadi. Mereka lantas tanpa basa-basi menertawakan Dun, terbahak-bahak seolah Dun pelawak andal di seluruh negeri.
Inilah yang aku takutkan, saat ia hanya berjalan dengan kakinya sendiri, tumbuh dengan kekuatannya tanpa siapa saja, tapi mereka masih menganggap hal sesederhana anak istimewa mewarnai pekan raya bersama sebagai lelucon. Sekarang aku tahu, hal apa yang paling menjengkelkan selain melihat Dun menghamburkan rumah.
Aku duduk di antara bangku-bangku yang perlahan terisi penuh seiring siang datang. Pedagang jalanan mulai memarkirkan gerobak di pinggir-pinggir tenda.