Sepulangnya saat purnama menggantikan matahari, aku dan Dun disambut dengan kapal pecah yang menunggu untuk dibersihkan sejak kemarin.
BACA JUGA:Puisi-Puisi Siswa Kelas XI-5 SMA Negeri 1 Sungailiat
Sementara sapu dan pengelap di depan sana seolah siap untuk membantu. Lalu, di antara yang berserakan tak karuan, secarik foto terselip di halaman buku yang tergeletak di lantai. Itu foto saat Dun pertama kali masuk sekolah luar biasa di perempatan jalan raya sana, senyumnya persis seperti hari ini.
Aku mulai menyadari, entah kapan terakhir kali aku melihatnya murung dan menangis, ia selalu tersenyum dan tertawa meski kadang tanpa sebab, atau hanya dengan perihal yang sederhana namun baginya mengesankan.
Saat orang-orang mengira mereka hidup menyedihkan seolah dalam ketidakwarasan. Tapi, orang-orang itu mana tahu hidupnya bisa saja jauh lebih berwarna dari siapa saja.
Mereka terus tumbuh tapi jiwanya masih sama seusia anak balita, mereka menikmati hidup seolah akan selamanya, termasuk Dun dan ceritanya tentang tawa. Ia sejati sampai saat beberapa orang menanyakan bagaimana Dun hari ini?
Dun masih sama, masih dengan senyum lebar dan ingusnya yang selalu meleleh seperti nasib es krim di siang terik.**
BACA JUGA:PUISI-PUISI SULTAN MUSA