Hanya sekedar mengingatkan, bahwa yang namanya WPR itu tidak semudah mengucapkan.
Ingat, soal WPR ini sendiri sudah berhembus lama di Negeri Serumpun Sebalai ini. Yaitu sejak Tahun 2015, saat Presiden RI Joko Widodo ketika itu melakukan kunjungan kerja ke Babel.
Menindaklanjuti semua itu, Gubernur Babel ketika itu Rustam Effendi dipanggil rapat rapat di Istana Merdeka guna menggolkan soal WPR.
Entah dimana masalahnya, faktanya hingga saat ini WPR tersebut tak kunjung turun?
Ingat, saat itu yang mencetuskan adalah Jokowi Presiden RI!
Ingat lagi, saat itu Presiden RI yang hingga saat ini masih menjabat mencetuskan soal WPR. Mengapa tetap tidak lolos juga? Ada apa? Masalahnya dimana?
Jawabnya, entahlah!
Makanya ketika Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) RI mewacanakan timah kembali menjadi komoditas strategis negara, di Jakarta, masyarakat Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel) masih 'cuek bebek'.
Timah dan Rakyat
Satu hal yang perlu menjadi catatan adalah, --terlepas soal legal dan ilegal serta kondisi lingkungan--, sejak bukan lagi menjadi komoditas strategis, timah justru menjadi penopang di atas 50% ekonomi masyarakat Babel. Intinya, timah adalah 'panglima' ekonomi Babel hingga saat ini.
Terlepas banyaknya cukong yang jadi kaya raya, tapi rakyat Babel sendiri banyak yang bergantung hidup dari tambang timah.
Apakah timah harus jadi komoditas strategis lagi seperti yang pernah diusulkan Lemhanas itu?
Loh, kok dimentahkan lagi?
Bukankah sebelum tahun 1998 timah itu memang komoditas strategis negara, sehingga rakyat saat itu tak bisa hidup dari timah, rakyat tak bisa menyentuh meski timah berada di depan mata atau di halaman rumah mereka?
Karena sebelum tahun 1998 itu, kontrol pemerintah demikian kuat terhadap timah. Bahkan kalau boleh jujur, kontrol itu menggunakan tangan pihak-pihak tertentu guna melakukan proteksi terhadap timah.
Warga Babel dilarang menambang, menjual, apalagi menyimpan timah, meski cuma 1 kg? Sungguh menjadi terasing dengan kekayaan di tanah sendiri?