Suatu wilayah bisa jadi memang masuk WIUP suatu perusahaan atau WIUP PT Timah Tbk? Namun ternyata nelayan menyatakan keberatan karena itu adalah wilayah tangkap ikan mereka? Juga sebaliknya, suatu wilayah laut misalnya bukan WIUP siapa-siapa, yang secara pertambangan tidak bertuan, namun ketika rakyat setempat bermaksud mengeksploitasi atau mau menambang, maka harus ada izin untuk penambangan? Berarti rakyat setempat juga tidak bisa turun sembarangan, akhirnya rakyat pun menjadi bak terasing di laut sendiri?
Bahkan konflik yang nyata-nyata kerap terjadi, suatu wilayah kawasan HL ditambang gila-gilaan bahkan hancur-hancuran, konflik kepentingan pun terjadi. Demikian pula dengan wilayah DAS, atau wilayah objek vital (Obvit).
Memang kadang deposit timah suatu wilayah bagai bau gula tercium semut. Jadilah akhirnya soal pertambangan ini menjadi riuh sepanjang masa, kucing-kucingan sepanjang waktu, kura-kura dalam perahu, begitulah selalu.
Semua menyangkut legalitas dan semua menyangkut perizinan yang akhirnya tahu sama tahu. Lahan yang nyata-nyata boleh ditambang, kadang masih ribut soal legalitas, lebih-lebih lagi lahan-lahan yang nyata-nyata semestinya dijaga oleh negara?
Lahan-lahan yang nyata-nyata tidak boleh ditambang misalnya:
1) Kawasan Hutan Lindung (HL), termasuk geopark dan sebagainya.
2) Daerah Aliran Sungai (DAS).
3) Kawasan Objek Vital (Obvit).
Fakta dan yang kerap terangkat ke permukaan melalui media di Bangka Belitung ini adalah, justru kawasan-kawasan terlarang yang dibabat bingkas oleh penambang pemodal besar. Adalah tidak mungkin rakyat kecil mampu menyiapkan alat berat untuk menggarap kawasan-kawasan tersebut.
Masalahnya, ketika penambang modal besar masuk, maka penambang rakyat pun ngikut juga di dalamnya.
Hanya tragisnya, ketika ada persoalan hukum, maka rakyatlah yang terjerat, sementara sang cukong entah kemana, atau kadang entah siapa?
Jadilah modal besar dan dana untuk alat berat tadi ditanggung siluman yang mungkin ada diantara mereka atau mungkin kitalah siluman itu?
Adakah Jalan?
Dari dulu, perjuangan untuk rakyat penambang agar bisa hidup tenang dari timah dengan cara legal melalui Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR), agaknya tetaplah masih berbentuk 'angin syurga'. Timah yang semestinya menjadi anugerah tapi tidak bisa menjadi berkah, malah kerap jadi bencana?
Angin syurga buat rakyat menambang secara legal dan tenang, terlalu sering berhembus sampai rakyat tak percaya lagi.
Terakhir mantan Penjabat Gubernur Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel), Ridwan Djamaluddin, menyatakan sudah selesainya peta WPR (Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) sempat menjadi setitik harapan. Namun itu ternyata tidak serta merta membuat rakyat hanya perlu izin Pemda Provinsi Babel, lalu bisa turun menambang? Karena masih ada regulasi yang harus dituntaskan, dan itu diperkirakan memakan waktu lama, bahkan tidak mudah?