Oleh: AHMADI SOFYAN
Penulis Buku / Pemerhati Sosial Budaya
RASA-RASANYA hanya kentut saja di negeri ini yang tidak dikenai pajak demi membiaya negara.
------------
KALAU seorang bapak sebagai kepala rumah tangga bangkrut dari usaha yang ia jalani, maka isteri dan anak-anaknya pasti merasakan dampak ekonomi. Kalau sebuah perusahaan yang bangkrut, maka pemilik saham dan karyawan akan merasakan langsung dampak kebangkrutan tersebut. Umumnya kebangkrutan tersebut karena menumpuknya hutang akibat manajemen yang keliru, tidak pandainya pengelola, mental korup, serta kurang cerdas melihat peluang dan tantangan yang ada sehingga mengalami kebangkrutan. Bagaimana lagi jika yang bangkrut adalah sebuah negara?
Sudah cukup banyak deretan negara-negara yang mengalami kebangkrutan (default) karena tidak mampu lagi membayar hutang. Kita sebut saja misalnya Yunani, Zimbabwe, Jamaica, Ekuador dan beberapa negara lainnya. Saat ini konon menurut banyak pengamat ekonomi, Indonesia diambang kebangkrutan akibat pemerintah RI terus menerus menumpuk hutang bahkan hampir 900 Triliyun.
BACA JUGA:Aroma Durian dan Caleg
Ditambah dalam beberapa periode terkahir ini berapa banyak sudah aset nasional yang dijual sahamnya sehingga semakin lebar terbukanya pintu kebangkrutan. Pemerintah masih sibuk dengan pencitraan, tim sukses sepertinya tidak selesai-selesai tugas me-“nabi”-kan seseorang yang diyakini mampu memperbaiki persoalan bangsa, namun kenyataan yang ada justru sebaliknya.
Sejak reformasi bergulir, pembangunan yang ada di negeri seperti “basing terabas”. Setiap pergantian pemimpin, pergantian Menteri, pergantian Kepala Daerah, maka berubah pula pembangunan yang sedang dan akan berjalan. Bahkan yang sudah berjalan pun jika tidak sesuai dengan kehendak sang pemimpin, bisa dihentikan. Tak ada lagi yang namanya pembangunan berkelanjutan, yang ada adalah pembangunan yang menguntungkan sang pengambil keputusan dan yang punya wewenang.
Secara ekonomi, ada beberapa faktor penyebab Indonesia diambang kebangkrutan saat ini, antara lain:
1) Besar anggaran “percuma” aparatur negara
2) Lamanya pengerjaan proyek negara yang membuat semakin mahal biaya yang dibutuhkan.
3) Tidak fokusnya pemerintah dalam melakukan pembangunan
4) Ego sektoral antar lembaga negara