Oleh: Dato’Akhmad Elvian, DPMP, CECH
Sejarawan dan Budayawan
Penerima Anugerah Kebudayaan Indonesia
SELAMA masa awal kekuasaan Bangsa asing kulit putih di Kepulauan Bangka Belitung, baik pada masa Inggris maupun masa kekuasaan Belanda terdapat beberapa residen yang berkuasa dan memerintah dengan berbagai kebijakan yang memunculkan berbagai peristiwa penting yang unik, fenomenal, humanis dan bahkan tragis.
-----------------
RESIDEN yang memerintah umumnya dari kalangan militer karena kondisi Pulau Bangka yang belum aman. Peristiwa sejarah yang terjadi tercatat dengan cukup baik dan rapi karena bangsa Eropa mengenal tradisi tulisan. J.C. van Leur seorang ahli sejarah mengatakan, bahwa sejarah Indonesia hendaknya jangan hanya dilihat dari geladak kapal Belanda dan benteng VOC. Dalam mempelajari sejarah Indonesia hendaknya dilakukan pendekatan dari perspektif Indonesia atau meminjam istilah Resink harus bersifat Indonesia-sentris.
Pada Masa Inggris berkuasa di Bangka Tahun 1812-1816, terdapat Tiga residen yang menjalankan pemerintahan Palembang dan Bangka. Residen Inggris berturut turut adalah Mayor Meares, Mayor William Robison dan M.H Court. Sebagai pemegang kekuasaan Inggris, Mayor Mears berusaha membentuk Pax Brittanica, akan tetapi dalam upaya menangkap Sultan Mahmud Badaruddin II, Residen Mears tertembak di Bailangu Muararawas. “The He possessed a large body and equally great soul” ini adalah perkataan Mayor Mieres ketika diantar Ahmad Najamuddin atau pangeran Depati ke Mentok akibat terluka pada pertempuran dan kemudian meninggal serta dimakamkan di Mentok pada Tanggal 16 September 1812. Mayor Mears kemudian digantikan oleh Mayor William Robison dan karena Ia bermasalah dengan Raffles, Robison digantikan oleh Mayor M.H. Court. Pada masa pemerintahan M.H. Court, di wilayah Toboali terjadi malapetaka bagi pemerintah Inggris dalam upaya pembentukan Pax Brittanica (Court, 1821:195), yaitu Mr. Brown, Inspektur Inggris mati dibunuh. Mr. Brown dibunuh karena tidak memahami budaya dan adat istiadat masyarakat setempat dan menganggap Raden Kling penguasa Toboali sebagai penentangnya. Bahkan Ia menuduh Raden Kling sebagai penyebab distriknya tidak produktif. Inspektur Toboali, Mr. Brown menginginkan pemindahan atau pengusiran Raden Kling dari distrik Toboali, sebab sangat sulit baginya mengontrol dan mengatur Toboali apabila Raden Kling masih berada di Toboali. Peristiwa sejarah seperti ini jangan sampai terulang lagi di Bangka dan bahwa seorang pemimpin haruslah memahami budaya dan adat istiadat masyarakat.
Pada masa pemerintahan Residen Mayor M.H. Court, jabatan Tumenggung di Pulau Bangka di Kota Mentok dihapuskan. Pulau Bangka dijadikan atas Tiga divisi yaitu Bagian Utara (northern division), kemudian wilayah Bagian Barat (western division) dan terakhir wilayah Bagian Tenggara (south east division). Residen Inggris M.H. Court berusaha memahami karakter orang Bangka dan dalam tulisannya menjelaskan tentang karakteristik orang Darat atau orang Gunung (bumiputera Bangka) yang didiskripsikannya secara singkat: “The character of the Orang Goonoongs, or natives of Banca, may be expressed in a few Words. They are an honest, simple, tractable, and obedient people; in personal appearance much more attractive than the same description of people at Palembang” (Court, 1821:214)
Berdasarkan Traktat London, bahwa Pulau Bangka harus diserahkan oleh kerajaan Inggris kepada kerajaan Belanda, dan pada Tanggal 10 Desember 1816, dalam satu acara resmi di Kota Mentok ditandatangani penyerahan kekuasaan atas Pulau Bangka antara Residen Inggris untuk Palembang dan Bangka, M.H. Court kepada K. Heynis (kemudian diangkat oleh Pemerintah Belanda sebagai Residen di Bangka). K. Heynis, menjabat sebagai residen di Bangka berlangsung sangat singkat antara tanggal 10 Desember 1816 sampai dengan pertengahan Tahun 1817. Residen K. Heynis dipecat dari jabatannya karena terlibat praktek curang dalam pengelolaan keuangan pertambangan dan pemerintahan (korupsi). Pemerintah Keresidenan Bangka dan pulau pulau kecil di sekitarnya sejak tahun 1816 hingga tahun 1913 menyatukan antara pengelolaan administrasi pemerintahan negeri (bestuur) dengan administrasi pertambangan timah (tinmijn). Akibat penyimpangan yang dilakukan K. Heynis, pemerintah pusat Belanda di Batavia harus mengirimkan satu komisi khusus penyelidik untuk memeriksa tindakan penyimpangan yang dilakukan K. Heynis. Dalam pembelaannya K. Heynis mengatakan, bahwa gajinya sebagai pejabat pemerintahan dan pertambangan di pulau Bangka tidaklah cukup, oleh sebab itu kemudian pemerintah Hindia Belanda banyak menyerap kebijakan yang telah dilakukan pemerintah Inggris dalam pengelolaan pertambangan Timah. P.H. van der Kemp dalam bukunya Het Nederlandsch-Indisch bestuur van 1817 op 1818 over de Molukken, Sumatra, Banka, Billiton and de lampongs, Den Haag, M. Nijhoff, 1917 pada halaman 190-191, menyatakan tentang pemecatan K. Heynis sebagai Residen: “Unfortunately, many of the first men employed were incompetent or corrupt. The new Resident of the island, Heynis, after being involved in a scandal in Java, had worked for the British on Bangka, so he presumably was familiar with the island. Yet in mid-1817, Batavia had to send commissioners to investigate his (financial) misdeeds. Difficulties with other personnel followed”. Maksudnya kira kira: “sayangnya, banyak pekerja pertama yang tidak kompeten atau korup. Pemimpin penduduk baru pulau itu maksudnya Residen Heynis, setelah terlibat skandal di Jawa, pernah bekerja untuk Inggris di Bangka, jadi dia agaknya sudah familiar dengan pulau itu. Namun pada pertengahan Tahun 1817, Batavia harus mengirimkan komisaris untuk menyelidiki kejahatan (keuangan) yang dilakukannya. Kesulitan dengan personel lain menyusul”. Selanjutnya Kemp pada buku yang sama dalam halaman 399 menyatakan ”In another case, the manager of the warehouse in Mentok was discharged “for dishonest and sloppy administration”. Maksudnya: Dalam kasus lain, pengelola gudang di Mentok dipecat “karena administrasinya tidak jujur ??dan ceroboh”. Jabatan Residen Bangka kemudian dijabat sementara oleh, Edelher Herman Warner Muntinghe, sampai kemudian diangkat pejabat residen yang difinitif yaitu M.A.P. Smissaert (Tahun 1817-1819). Residen M.A.P. Smissaert yang memerintah di Keresidenan Bangka, juga dalam suasana sulit menghadapi peperangan hebat akibat perlawanan rakyat Bangka dan kondisi keuangan Kerajaan Belanda yang porak poranda akibat perang di Eropa.
Pada Tahun 1819 Masehi dikeluarkan Tin Reglement yang berisi: Penambangan Timah di Bangka langsung berada di bawah wewenang dan kekuasaan residen; Timah adalah monopoli penuh Belanda dan tambang Timah partikelir dilarang sama sekali beroperasi. Tin Reglement, kemudian memicu berbagai perlawanan rakyat Bangka. Pada bulan Mei 1819 kepala-kepala rakyat di Koba, Toboali, Keppo dan Djebus menyerbu parit-parit Timah milik Belanda. dan kemudian merebut kembali Toboali dari tangan Belanda. Serangan terhadap Koba, Toboali, Keppo dan Djebus oleh rakyat Bangka digambarkan oleh P.H. van der Kemp tentang masa setelah pengambilalihan Belanda atas pulau Bangka dari tangan Inggris: “Inspecteur-Generaal Smissaert had in den ous bekendeu brief van 12 Maart 1817, een ongunstig tafereel opgehangen over sommige toestanden in Banka's binnenlanden,üe volkshoofden, de batin schreef hij,lachten om alle orders en het hoofd van Koba, op de oostzijde des eilauds, werd als een nietswaardig voorwerp beschouwd, dat het gouvernement met open oogen bedroog. De staat van zaken verergerde allengs; zelfs werd den 15 Mei 1819 het aan de zuidzijde gelegen mijndistrict Toboali aangevallenen afgelo open. De inueming van onze benting aldaar was toeteschrijven aan de wankelmoedige houding van den commandant, 2" luitenant Bury, die aan liet hoofd van 40 man den hem toevertrouwden post eenvoudig prijs gaf en op Pangkal-Pinang terugtrok, zouder éen man te hebben gewaagd . Weinige dagen daarna werd het dicht bij Toboali gelegen Kappo aangetast, doch de aanval door het hoofd aldaar, den kapitein der Chiueezen, afgeslagen Eenderde aanval had in Juni plaats in het district Djeboos ook die werd afgeslagen, doch de vijaud maakte zich meester van een onzer kanonneerbooten” (Kemp, 1900;544-545), maksudnya "Inspektur Jenderal (residen) Smissaert dalam suratnya yang tertanggal pada 12 Maret 1817, sebuah situasi yang tidak menyenangkan terjadi di beberapa bagian wilayah pedalaman Banka, para kepala rakyat yang disebut dengan batin, menolak semua perintah Inspektur atau kepala distrik Koba, yang terletak di sisi Timur Pulau Bangka. Mereka menentang secara terbuka pemerintah. Keadaanpun semakin memburuk; bahkan pada tanggal 15 Mei 1819, distrik pertambangan Toboali, yang terletak di sisi Selatan, diserang. Pemberontakan terjadi di sana disebabkan oleh sikap sang komandan yang gigih di wilayahnya, Letnan Dua Bury, dengan 40 orang pasukannya, berusaha mempertahankan wilayah dan jabatan yang dipercayakan kepadanya, dan kemudian mundur ke Pangkal-Pinang, salah satu wilayah yang telah Ia jelajahi. Beberapa hari kemudian, Kappo (maksudnya Kepoh), yang dekat dengan Toboali, diserang, tetapi serangan dapat dipertahankan oleh kepala pasukan di sana, Kapten Chiuese. Serangan Ketiga kalinya juga terjadi pada bulan Juni terhadap wilayah di distrik Djeboos, tetapi musuh ditangkap oleh salah satu pasukan bersenjata kami" (Kemp, 1900;544-545). Tokoh-tokoh pemimpin perlawanan rakyat Bangka yang memimpin perlawanan adalah Depati Bahrin seorang Depati di wilayah Djeroek, Batin Tikal di Gudang (Penyampar) dan Demang Singayudha serta Juragan Selan di Kotaberingin. Puncaknya perlawanan adalah pada Tanggal 14 November 1819, Residen Bangka, M.A.P Smissaert mati dibunuh di sungai Buku, perbatasan antara kampung Zed dengan kampung Puding, pada saat M.A.P Smissaert perjalanan pulang inspeksi dari distrik Pangkalpinang menuju ibukota keresidenan di Mentok. Tandunya yang dipikul oleh 8 orang beserta seorang mandor dan seorang Opas disergap oleh Demang Singayudha, atas perintah Depati Bahrin. M.A.P Smissaert, melawan dan menembakkan 2 pistolnya, satu pistolnya macet dan satu pistolnya mengenai mandornya sendiri sementara kelewangnya telah dibawa lari oleh opasnya. M.A.P Smissaert tertembak kakinya berusaha melarikan diri akan tetapi kemudian ditangkap, kepalanya dipenggal dan ditancapkan pada ujung sebatang kayu, lalu diarak keliling kampung Puding. Dalam Carita Bangka Semaian 2 dinyatakan: “Maka di dalam waktu ini tempoh jadi residen Bangka Tuan Smitsar kembali dari Pangkal Pinang, jalan darat lewat di tanah Djeroek dimana dekat kampung Poeding. Di situ suruhan dipati Barin dengan demang Singayudha bunuh itu tuan residen Bangka nama tuan Smitsar dan kepalanya batin Tikal dari bangka Kota bawa kasihkan kepada sultan Palembang” (Wieringa, 1990:122). Untuk menumpas perlawanan rakyat Bangka, pasukan militer Belanda harus melakukan beberapa kali penyerbuan. Pasukan militer Belanda di Bangka adalah pasukan militer yang telah terlatih dalam perang di Palembang (Elvian, 2016:23).***