IMLEK DI PULAU BANGKA
Akhmad Elvian-screnshot-
Oleh: Dato’ Akhmad Elvian, DPMP
Sejarawan dan Budayawan
Penerima Anugerah Kebudayaan Indonesia
SALAH satu catatan Belanda tentang keberadaan Rumah Ibadah baik masjid, kelenteng dan gereja di Pulau Bangka adalah dalam Algemeen Verslag Der Residentie Banka Over Het Jaar 1850, Bundel Bangka Nomor 41.
------------------
DALAM Algemeen Verslag dilaporkan tentang kondisi rumah ibadah di Pulau Bangka: “Di Kota Mentok, bagi umat Islam sudah tersedia Satu masjid yang berfungsi sebagai tempat ibadah dan pendidikan bagi umat dan anak-anak muslim. Bagi orang-orang Cina sudah tersedia Satu kelenteng, kemudian di Distrik Pangkalpinang juga terdapat kelenteng yang cukup besar dan bersih. Di distrik lainnya rumah ibadah dan Toa Pekong kecil disediakan dan diperbolehkan dibangun oleh orang-orang Cina untuk keperluan peribadatannya. Gereja agama Kristen pada masa ini belum ada yang didirikan di Pulau Bangka. Para pendeta yang berkunjung ke Pulau Bangka biasanya tinggal di rumah pejabat pemerintahan dan melakukan pelayanan keagamaan di gedung milik pemerintah”. Kelenteng di distrik Pangkalpinang yang disebutkan cukup besar dan bersih dalam Algemeen Verslag Der Residentie Banka Over Het Jaar 1850, adalah kelenteng Kwan Tie Bio atau Kwan Tie Miaw. Pada Kelenteng Kwan Tie Miau inilah menjelang perayaan Imlek, tiap tahun dilaksanakan acara pertunjukan Liong dan Barongsai, pesta Kembang Api dan Mercon serta Sembahyang dan doa tutup tahun pada detik detik pergantian tahun atau Hari Tutup Tahun (sam sip pu).
Pendirian banyaknya Kelenteng dan Toa Pekong di Pulau Bangka seiring dengan pertambahan jumlah penduduk Orang Tionghoa yang menjadi penambang Timah di Pulau Bangka. Umumnya kelenteng yang didirikan bernama Kwan Tie Miaw, Shen Mu Miaw dan Fuk Thet Che, kecuali di Kota Mentok bernama Kung Fuk Miaw. Pada akhir kekuasaan Inggris di Pulau Bangka Tahun 1817, berdasarkan data dari residen Inggris M.H. Court, dijelaskan bahwa, jumlah penduduk Chinesen (China) sebesar 4.651 jiwa. Setelah itu 31 tahun kemudian, Franz Epp, dalam bukunya Schilderungen aus Ostindiens Archipel, Heidelberg: J.C.B. Mohr, 1841 dan Schilderungen aus Hollandisch-Ostinden, Heidelberg: J.C.B. Mohr, 1852 pada halaman 209, dalam data dari tabel statistik (statistische verhaltnisse) mendiskripsikan, bahwa pada Tahun 1848 Masehi penduduk Pulau Bangka Orang Cina (Chinesen) sekitar 10.052 jiwa. Penduduk etnis Cina terbesar pada waktu itu adalah yang berdomisili di distrik Belinyu dengan jumlah sebesar 2.270 jiwa (Epp,1852:209). Berdasarkan volkstelling atau sensus yang dilakukan pemerintah Kolonial Belanda pada Tahun 1920 Masehi, perkembangan jumlah penduduk orang Tionghoa (Chinesen termasuk peranakan) di Pulau Bangka mencapai 67.398 orang atau meliputi 44,6 persen dari keseluruhan penduduk Pulau Bangka yang berjumlah 154.141 orang (termasuk orang Eropa). Dari 67.398 orang Tionghoa (Chinesen) di Pulau Bangka, sebesar 10.653 orang tinggal di Pangkalpinang atau meliputi hampir 68,9 persen dari keseluruhan jumlah penduduk Pangkalpinang yang berjumlah 15.666 orang (termasuk orang Eropa). Oleh sebab itu perayaan Imlek di Pulau Bangka khususnya di Kota Pangkalpinang sangat ramai dan meriah bukan hanya dirayakan oleh orang Tionghoa (Chinesen) Bangka akan tetapi hampir dirayakan oleh seluruh masyarakat.
Pada masa Hindia Belanda, pekerja tambang Timah yang masih lajang umumnya tinggal di "rumah Kepung" atau Rumah kongsi, sedangkan yang sudah menikah biasanya tinggal di pundok atau rumah sendiri yang didirikan dekat parit penambangan Timah. Orang Tionghoa yang datang ke Bangka membawa adat, tradisi dan budaya dari daerah asalnya di daratan Cina. Pada tiap lokasi pertambangan mereka mendirikan tempat sembahyang yang disebut "Toapekong". Mereka juga tiap tahun merayakan hari raya Tahun Baru Imlek, Sembahyang Rebut (Chet ngiat pan) dan Cengbeng. Pada saat perayaan Tahun Baru Imlek yang di Pulau Bangka dikenal dengan Kongian adalah saat "Pesta makan besar", merupakan hari kegembiraan setelah melalui hari-hari yang penuh tragedi di aktifitas parit pertambangan Timah. Dalam kontrak kerjanya mereka harus bekerja selama 30 hari dalam sebulan dengan sistem kung atau dagtaak dengan lama kerja sekitar 9-10 jam. Dalam setahun mereka mendapatkan liburan selama 15 hari (dengan jatah untuk menikah, 4 hari untuk merayakan Tahun Baru Imlek atau Kongian dan untuk upacara upacara tradisi lainnya), di samping itu mereka mendapatkan bonus sebesar 5 gulden setahun yang disebut "Uang Rajin". Sejak Tahun 1880 bonus kerja atau uang rajin diberikan 1 gulden perbulan. Selama 4 hari liburan tahun baru mereka melakukan pembersihan rumah, sembahyang menggelar meja altar di halaman rumah, sembahyang tutup tahun dan mempersiapkan makanan keberuntungan dan nampan kebersamaan. Pesta makan besar di malam Imlek adalah sesuatu yang istimewa dengan makanan yang enak Siang harinya Imlek diisi dengan saling mengucapkan selamat tahun baru, saling kunjung dan pembagian angpao. Salahsatu aktivitas yang dibebaskan oleh pemerintah Hindia Belanda pada saat perayaan Imlek adalah perjudian. Bonus "uang rajin" pun habis di meja perjudian. Bentuk judi yang dilakukan adalah Judi "Po atau Pao" menggunakan dadu dan judi kartu "Pen Kim dan Siap". Perjudian pada masa Hindia Belanda memang dilegalkan di tempat yang ditentukan dan dikenakan pajak, Khusus hari raya Tahun Baru Imlek atau Kongian pada masa Hindia Belanda pekerja tambang diberikan kebebasan untuk berjudi. Tradisi saling kunjung saat hari raya Imlek atau Kongian berlangsung sampai hitungan hari puncak Kongian tanggal 15 yang disebut dengan cap go meh.
Sedikitnya terdapat beberapa tradisi yang kerap dilakukan masyarakat Tionghoa saat perayaan Kongian; yang pertama mereka melakukan aktivitas bersih-bersih rumah sebelum hari perayaan Imlek atau Kongian, sebab selama perayaan Tahun Baru Imlek atau Kongian mereka dilarang bersih-bersih, alasannya, bersih-bersih saat Imlek dipercaya akan membuang semua keberuntungan yang ada di rumah itu. Sehari sebelum Kongian biasanya dilaksanakan sembahyang untuk leluhur yang telah meninggal dunia yang dilakukan di halaman dengan menyalakan hio atau garu, dan lilin, serta menyajikan persembahan makanan. Selanjutnya dilakukan kegiatan mendekorasi rumah setelah dilakukan bersih-bersih. Masyarakat Tionghoa Bangka biasanya akan mendekor rumah mereka dengan pernak-pernik khas Imlek atau Kongian. Biasanya, dekorasi ini identik dengan warna merah dan kuning keemasan, sesuai warna khas Imlek. Pada saat hari Raya Imlek atau Kongian dilakukan aktifitas berkumpul bersama keluarga dengan penampilan serba warna merah. Momen ini ditujukan untuk mempererat tali persaudaraan. Pada saat Kongian atau Imlek di masing masing rumah disediakan aneka kudapan khas Imlek. Terdapat sejumlah makanan khas Imlek yang dipercaya membawa keberuntungan dan kemakmuran bagi yang menyantapnya. Tidak hanya bagi orang Tionghoa tapi masyarakat Bangka umumnya juga bisa menyantapnya, sebab memang sudah dipersiapkan secara khusus. Selanjutnya pada saat Kongian atau Imlek di Bangka, anggota keluarga yang sudah berkeluarga dan memiliki rejeki lebih akan memberi Angpao pada anak-anak dan sanak-saudara yang sudah menikah. Pada saat menjelang Imlek dan saat hari Imlek biasanya ditampilkan pertunjukan Barongsai. Atraksi Barongsai sangat populer dan selalu dinantikan, bukan hanya oleh masyarakat Tionghoa, namun juga masyarakat Bangka secara luas. Dalam kepercayaan Tionghoa, Barongsai merupakan lambang kebahagiaan dan tarian Singa dipercaya membawa keberuntungan serta mengusir roh-roh jahat. Terakhir ada tradisi Orang Tionghoa di Bangka pada hari ke-20 Imlek yang disebut dengan Thien Chon Ngit atau hari menambal langit, yaitu dengan melakukan pu thian con yaitu menggoreng thiam pan atau sering disebut kue keranjang (karena pada masa awalnya kue dicetak dengan keranjang dari anyaman Bambu).***