BATIN GANING DI NYIREH (Bagian Satu)
Akhmad Elvian-screnshot-
OLEH: Dato’ Akhmad Elvian, DPMP
Sejarawan dan Budayawan
Penerima Anugerah Kebudayaan Indonesia
WILAYAH Nyireh merupakan wilayah di Pesisir Barat Pulau Bangka yang sudah dieksplorasi Timahnya oleh Wan Akub dan Wan Seren dibantu para patih dan batin pribumi Bangka bersamaan dengan eksplorasi Timah di Sungai Oelin, Sungai Gossong dan Sungai Bangkakota serta sungai-sungai di sekitarnya.
----------------------------
EKSPLORASI Timah dilakukan atas perintah Sultan Mahmud Badaruddin I Jayo Wikromo yang singgah di Bangkakota (sekitar Tiga bulan) untuk mempersiapkan peralatan perang dan memperbaiki kapalnya (18 kapal milik Sultan dan 40 kapal milik Daeng Berani) sebelum menyerang pusat kekuasaan Kesultanan Palembang. Kemudian dari itu maka ratu Mahmud Badaruddinpun berangkat di dalam Hijrah an-Nabi salla ‘Illahu ‘alaihi wa-sallama as-sanat 1127 dan tahun Holanda 1717 (Wieringa, 1990:82). Pengelolaan Timah di Sungai Nyireh, Sungai Olim dan Sungai Bangkakota serta sungai-sungai di sekitarnya di wilayah Bangka bagian Selatan kemudian diserahkan kepada anaknya Wan Seren yaitu Wan Adji atau Tuk Adji (Nek Adji).
Dalam laporan peneliti Inggris Thomas Horsfield, pada masa akhir pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin I Jayo Wikromo (Tahun 1757), dalam wilayah yang luas meliputi Toboali, Nyeery (Nyireh), Ulim, Permissang, Banko-Kutto dan wilayah lainnya di sepanjang Pantai Barat Pulau Bangka (ke Selatan Kutto-Waringin), kegiatan pertambangan Timah telah dilakukan tertutup oleh penduduk asli (tekhnologi Tebok/tobo-alih/ale), kegiatan peleburan atau penyempurnaan (pemurnian) dari bijih Timah sedikit mengadopsi teknologi yang diperkenalkan oleh orang Cina, sementara dalam penambangan partai-partai kecil tidak mengggunakan metode atau teknologi yang biasa digunakan di bagian lain dari pulau (maksudnya tekhnologi Kulit dari orang-orang Cina di Bangka bagian Barat dan Utara). Beberapa daerah terakhir yang disebutkan menuju ujung Selatan, masih sangat kaya akan kandungan bijih Timah (Horsfield, 1848:312). Kemudian berdasarkan catatan H.M. Lange disebutkan bahwa: meskipun cara dan pengolahan Timah dilakukan secara sederhana mereka lakukan di wilayah Toboali, Nyeery (Nyireh), Ulim, Permissang, Banko-Kutto dan wilayah lainnya di sepanjang Pantai Barat Pulau Bangka (ke Selatan Kutto-Waringin), tetapi diperoleh dengan hasil yang luar biasa, sehingga produksi Timah Tahun 1740 sudah sebesar 25.000 pikul (Lange, 1850:16). Di samping menghasilkan Timah, wilayah wilayah di atas juga menghasilkan Rotan, Damar, Madu, dan Tikar Kajang (tikar yang dianyam dari daun Nipah atau daun Rumbia) serta menghasilkan kayu wangi dari Species Gonstylus Bankanus yang laku dengan harga mahal di Persia bahkan lebih mahal dari Gaharu (Aqualiria).
Selanjutnya berdasarkan laporan ekspedisi Pemerintah Hindia Belanda ke Pulau Bangka pada Tanggal 17 Agustus 1803 atau pada masa akhir kekuasaan Muhammad Bahauddin (Tahun 1776-1803) yang mengikutsertakan kapal perang Maria Rijgersbergen bersama dengan kapal layar eks VOC Maria Jacoba dan Beschermer serta dikawal beberapa kapal jenis panjajap milik Sultan Palembang, dinyatakan terdapat beberapa Tiko di Pulau Bangka, salah satunya adalah Tiko Kimas Tumenggung Astra Dikara, seorang Tiko raja yang membawahi wilayah di Nyireh (Marihandono, dkk.,2019:209-210). Selanjutnya berdasarkan Laporan M.H. Court, Residen Inggris untuk Palembang dan Bangka, bahwa terdapat beberapa pemukiman penduduk di Pesisir Barat bagian Selatan Pulau Bangka dimulai dari Toobooallie menuju Minto (Mentok); pada jarak sekitar Delapan mil (maksudnya dari Toboali), terdapat sungai kecil yang disebut Neerie (Nyireh), pintu masuk pada muara sungai menuju pemukiman penduduk (Batin Neerie) sangat dangkal, populasi penduduknya (batin Neerie) dimasukkan ke dalam catatan di Toobooallie. Tujuh mil selanjutnya dari Neerie adalah Sungai Oolim (Court, 1821:208, 209).
Nyireh adalah satu wilayah Batin di Pulau Bangka yang diberikan dengan nama sama dengan nama sungai di dekat pemukiman penduduknya (berok). Dalam peta-peta lama Belanda dan Inggris Sungai Nyireh ditulis dengan Nirie, Njerie, Njireh adalah salah satu sungai yang cukup panjang di Pulau Bangka. Sungai Nyireh secara geografis berada di antara Sungai Gosong dan Sungai Oelin yang bermuara di Selat Bangka. Sungai Nyireh membelah wilayah daratan Pulau Bangka yang dalam Kaart Van Het Eiland Banka Zamebgesteld in 1845en 1846 door H.M. Lange dan Kaart Van Het Eiland Banka, karya J.W. Stemfoort 1885 melewati kampung kampung lama yang hampir semuanya hilang atau berganti nama seperti Kampung Krisik, Kampung Pependang, Kampung Njerie, Kampung Aik Deles dan Kampung Klamping, serta Kampung Katoeloe. Dari ibukota distrik di Toboali ke Kampung Njerie (Nyireh) sudah terhubung melalui jalan setapak melalui jembatan kayu di Sungai Gossong terus ke Kampung Bajor lalu ke Kampung Nyireh, Kampung Pependang, dan Kampung Penda, Kampung Kitapang dan Kampung Merang serta Kampung Pinang dan seterusnya memasuki wilayah Distrik Koba yang jalannya bersimpang ke Kampung Jilatan dan Kampung Nangka yang kemudian terhubung ke jalan besar menuju ibukota Distrik Koba, sedangkan simpang jalan berikutnya dari Kampung Merang terus ke Kampung Pinang, Kampung Sekanang Kampung Seronie menyelusuri lembah antara Bukit Palawan dan Bukit Tappi serta Bukit Badji menuju Kampung Pako, Kampong Banseer, dan Kampung Simbar. Pada Kampung Simbar jalan bersimpang Dua lagi, satu simpang jalan menuju Kampung Gontong di Jalan Raya Koba menuju Pangkalpinang dan simpang jalan berikutnya dari Kampung Simbar melewati Kampung Kebok, Kampung Bonkok dan Kampung Pleboeren, Kampung Malee, Kampung Biekain sampai ke Ibukota Distrik Sungaiselan di Banka Kotta. Penamaan atau Toponimi topografi wilayah (bentang alam) sungai dengan kata spesifik “Nyiri, Nyirih atau Nyireh” dikarenakan pada wilayah muara (hilir), berok (muka sungai) dan hulu sungai sangat endemik dengan tanaman Pohon Nyireh (Xylocarpus). Pohon Nyireh adalah salah satu genus tumbuhan dalam keluarga Mahoni (Meliaceae) yang banyak tumbuh di Rabeng atau kawasan mangrove yang ada di Pulau Bangka.
Sungai Nyireh dan Batin Nyireh merupakan salah satu wilayah penting dalam sejarah Pulau Bangka, karena menjadi salah satu basis pertahanan bagi perlawanan rakyat Bangka masa setelah (Traktat London) atau masa penyerahan kekuasaan Inggris kepada Belanda serta masa setelah diberlakukannya Undang-undang monopoli tentang Timah atau Tin Reglement (Tahun 1819). Kebijakan monopoli pertimahan memicu berbagai perlawanan rakyat Bangka. Pusat-pusat perlawananpun menyebar dan berlangsung dari pusat-pusat pertahanan atau dari benteng ke benteng yang sengaja didirikan oleh para Batin hampir di seluruh wilayah Pulau Bangka. Pertempuran atau gerilya lautpun dilakukan dari pulau ke pulau dengan perahu bersenjata, dari selat ke selat serta dari sungai ke sungai dilaksanakan oleh pejuang pejuang tangguh dipimpin oleh para Batin di Pulau Bangka seperti Batin Tikal di Bangka Kota, Batin Pa Amien di Toboali dan Batin Ganing di Nyireh serta bahu membahu dengan para pangeran dari kesultanan Palembang yang ditugaskan menjaga wilayah Pulau Bangka dari Bajak laut maupun dari kekuasaan Inggris dan Belanda. Daerah-daerah seperti Kepo, Ulin, Nyireh dan Bangkakota tidak luput dari perampokan dan penjarahan bajak laut. Dengan pengecualian Toboali, dimana kubu atau benteng pertahanan kemudian telah buru-buru dibangun dekat semua wilayah sungai di sepanjang pantai Barat dan Selatan, terutama yang dari Banko-Kutto, Selan dan Kappu, kubu atau benteng diberikan tempat tinggal dan keamanan untuk menghadapi Lanons (Horsfield, 1848:317). Sultan Kesultanan Palembang Darussalam, Muhammad Bahauddin mengirimkan beberapa orang pangeran kerabat dekatnya yaitu Raden Keling, Raden Ahmad, Raden Badar, Raden Ali dan Raden Sa’bah untuk mengamankan wilayah pesisir Timur dan pesisir Barat Pulau Bangka bagian Selatan termasuk pulau pulau kecil di Selat Gelasa beserta perairannya dari keganasan bajak laut (Belanda:zeerovers), maupun dari penguasaan Inggris (Tahun 1812-1816) dan Belanda (Tahun 1819-1828). Sebagian daerah di Pulau Bangka dan Pulau Belitung telah berhasil ditundukkan, namun Inggris belum dapat menguasai sepenuhnya Kota Waringin (Kota Beringin), Bangka Kota, Toboali, Lepar, dan Belitung. Hal ini karena pangeran-pangeran Palembang masih bercokol di daerah-daerah tersebut (Wieringa, 1990:12). Begitu juga pada masa Pemerintah Hindia Belanda berkuasa di Pulau Bangka setelah Traktat London dan pemberlakuan Tin Reglement, Pada wilayah wilayah tersebut di atas perlawanan sengitpun terus berlangsung.(Bersambung/***)