Hal ini tentu akan memutus jalur tradisional nelayan dalam mencari ikan, selain itu produktivitas laut juga akan berkurang dan airnya akan tercemar. Lantas siapa yang akan diuntungkan?
Menurut WALHI masyarakat Batu Beriga sendiri juga memandang rencana penambangan ini sarat kepentingan ekonomi-politik bagi para pemilik modal tambang semata, sedangkan masyarakat Batu Beriga yang berprofesi sebagai nelayan akan kehilangan ruang penghidupan. (Walhi.or.id 31/10/24).
Setuju dengan apa yang disampaikan oleh Walhi dan warga, bahwa rencana kegiatan penambangan ini jelas hanya menguntungkan para pemilik modal yakni mereka yang terlibat dengan aktivitas pertambangan. Baik pada lingkaran perusahaan plat merah atau siapa pun yang mendapat tender dalam proses hulu hingga hilir pertambangan ini. Merekalah yang paling diuntungkan dalam pertambangan yakni para pemilik modal (kapital). Sedangkan rakyat hanya mendapat sedikit sekali sisanya bahkan harus terkena dampak kerusakannya.
Akar Masalah
Akar masalah dari polemik pengelolaan pertambangan di Indonesia tidak lepas dari sistem hidup yang diterapkan di negeri ini, yakni sistem kapitalisme. Dalam sistem kapitalisme negara mengambil kebijakan yang tidak pro pada rakyat tapi pro kepada pemilik modal (kapital) oleh karena itu sistem ini dinamakan kapitalisme.
Negara kapitalisme akhirnya akan melahirkan Undang-undang dan kebijakan yang berorientasi pada keuntungan materi semata dan abai pada nasib rakyat. Misalnya saja kebijakan pemberian IUP pertambangan di berbagai wilayah di Indonesia termasuk di Batu Beriga ini merupakan salah satu kebijakan yang lahir dari Undang-undang minerba yang akhirnya merampas ruang hidup masyarakat serta sarat akan kepentingan pemilik modal.
Berdasarkan Catatan Akhir Tahun 2020 Jaringan Advokasi Tambang , terdapat 8.588 IUP diterbitkan di sekujur tubuh kepulauan Indonesia telah mengaveling 44% luas daratan dan kepulauan di Indonesia. Merujuk kepada catatan WALHI patut diduga bahwa pertambangan merupakan penyebab paling jahat perampasan ruang hidup masyarakat ketimbang pembangunan infrastruktur, kota mandiri, perkebunan dsb.
Sebab pertama, dengan pengesahan UU Minerba No. 3/2020, Pemda tidak lagi bisa melakukan pencabutan Izin Usaha Pertambangan (IUP) sebab seluruh kewenangan pertambangan diatur oleh pemerintah pusat. Kedua, adanya pidana bahkan denda hingga sebesar Rp100 juta (Pasal 162) bagi masyarakat yang mengganggu aktivitas pertambangan. Ketiga, adanya kebebasan memilih bagi perusahaan terkait kewajiban perbaikan lahan tambang, yakni Kegiatan Reklamasi atau Kegiatan Pasca-Tambang (Pasal 96 B). (Muslimah News.net, 06/12/23).
Hal ini senada dengan tuntutan aksi masyarakat Babel untuk mencabut IUP tambang timah Beriga. Lagi-lagi hal ini bisa terjadi secara sistemik karena adanya UU Minerba yang telah disahkan pemerintah beberapa tahun silam, juga undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba Perubahan) yang mengatur tentang kepastian hukum dalam kegiatan pertambangan.