“Kalau yang berwenang untuk menghitung kerugian keuangan negara sudah ada yang mulia rambunya, patokannya baik itu di Undang-Undang BPK dan Undang-Undang yang lainnya, tentu BPK,” tegas Kartono.
Hal itu sesuai Pasal 10 dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK. Instansi itu juga diberikan kewenangan memberikan pengumuman atas hasil auditnya.
Sementara, saksi ahli lainnya yang dihadirkan JPU, Saksi Ahli Hukum Pertambangan dan Lingkungan Ahmad Redi. Ia justru menjelaskan, nilai kerugian negara yang dihitung menggunakan dasar dari Peraturan Menteri Lingkungan Hidup (Permen LH) Nomor 7 Tahun 2014, turunan dari UU 32 Tahun 2014, kerusakan lingkunga ini masuknya ke dalam hukum perdata.
BACA JUGA:Saksi Ungkap Fakta Dana CSR Rp 1,6 M dari PT SIP di Kasus Dugaan Korupsi Timah
"Bab kerugian lingkungan bahwa pemerintah dapat menghitung kerugian, dalam konteks kerugian ini Perdata sebenarnya, kalau kita bicara secara normatif. Tapi bahwa itu bisa dijadikan instrumen untuk menghitung jadi sebagai pedoman," ujar Ahmad, Kamis 24 Oktober 2024.
"Jadi memang Permen LH ini kalau dilihat konsideran menimbangnya itu adalah ya tadi konteksnya adalah konteks penghitungan ganti rugi," ucap Ahmad.
Lebih jauh ia juga menjelaskan, bahwa timah yang belum dibayarkan royaltinya belum bisa diklaim kepemilikannya sesuai dengan Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba).
Hal ini ditanyakan oleh Majelis Hakim soal kepemilikan timah milik PT Timah bisa diklaim saat masih di dalam tanah atau ketika sudah di ekspor dan bayar rolayti.
Lebih jauh dikatakan pula, dalam UU Minerba, Aparat Penegak Hukum (APH) yang berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan pidana pertambangan adalah pihak kepolisian.
"Di UU Minerba pasal 158 itu dalam konteks penegakan hukum pidana pertambangan tentu kalau bicara mengenai hukum acara ya dia masuk ke penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian," kata Ahmad.
Aturan tersebut juga mengatur sanksi yang dapat dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana pertambangan.
"Pasal 158 itu kan bunyi setiap orang yang melakukan penambangan tanpa izin itu diancam pidana 10 tahun dan Rp100 miliar," jelas Ahmad.***