Indonesia, Tanah Air Kita, kah?
Ahmadi Sopyan-screnshot-
Cuplikan lirik lagu karya Koes Plus ini menunjukkan bahwa betapa kaya dan suburnya tanah di negeri ini. Jika dikelola dengan baik dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat, maka tidak akan ada yang namanya kemiskinan atau kemelaratan, tidak ada lagi anak-anak negeri mengalami penyakit busung lapar dan kurang gizi.
Kemerdekaan yang diperoleh oleh orangtua kita dulu dengan mengalirkan darah dan mengorbankan nyawa tiada lain karena demi mempertahankan tanah air (sumber kekayaan alam) dan demi kehormatan diri sebagai pemilik sah negeri ini dari tangan penjajah. Kini, 71 tahun kemerdekaan itu kita rasakan, apakah tanah dan air sudah benar-benar merdeka dari tangan penjajah? Sudahkan tanah beserta isinya seperti emas, batubara, timah, minyak, biji besi, gas dan segala yang ditanam diatas tanah air kita ini adalah untuk rakyat? Benar-benar dikuasai oleh Indonesia dan digunakan untuk kesejahteraan rakyat sebagaimana yang termaktub dalam UUD 1945?
Indonesia memiliki sumber daya alam yang melimpah. Negeri yang membentang di sepanjang zamrud khatulistiwa ini memiliki keanekaragaman hayati dan sumber alam yang tinggi. Indonesia memiliki areal yang sangat cocok untuk vegetasi hutan, pertanian, perikanan maupun peternakan. Bangsa kita sangat unggul dibandingkan bangsa lain bila menyangkut tentang sumber daya alam yang dimilikinya. Hampir setiap pulau-pulau besar di Indonesia memiliki sumber kekayan tersendiri.
Selain itu, tanah Indonesia memiliki beberapa kawasan yang dapat dijadikan sebagai sumber minyak dan gas. Sumber minyak tersebut tersebar di beberapa daerah seperti Cepu, Cirebon, Sumatera, Tarakan, Sorong dan lain sebagainya. Jumlah sumber minyak dan sumber alam tersebut terbilang sangat tinggi. Begitu juga dengan Emas, Timah, Batubara, Biji Besi dan kekayaan hayati lainnya. Akan tetapi mengapa dalam faktanya rakyat Indonesia bahkan Indonesia sebagai negara masih tetap miskin? Indonesia sebagai negara memiliki hutang yang menumpuk sedemikian rupa? Jawabannya adalah karena kebodohan kita, kebodohan seluruh elemen pengelola negara, keserakahan sekelompok orang yang menjual aset dan kekayaan alam kepada pihak asing untuk menguasainya.
Indonesia, negeri ini memang sangat kaya (sumber daya alam), akan tetapi tetap terjadi kemiskinan karena terkesan kita tidak memiliki dan menguasai kekayaan tersebut. siapakah yang menguasai tanah dengan tambang emas di Papua, rakyat Papua-kah? Bangsa Indonesia-kah? Siapakah yang menguasai minyak dan sumber energi? Siapakah yang menguasai timah, batubara, biji besi kita? Tak sadarkah kita ketika semua itu mereka kuasai, maka produk politik, hukum, Undang-Undang kita pun akhirnya dikuasai untuk kepentingan mereka?
Sesungguhnya Indonesia memiliki segalanya, kecuali kekuasaan mengelola alam negerinya sendiri. Indonesia bagaikan robot yang dikendalikan oleh sebuah remote control. Siapa pemilik Newmont, Freeport dan berbagai perusahaan besar yang menguasai berbagai isi perut bumi di negeri kita? Tahukah kita rakyat Indonesia bagaimana besarnya kekuasaan mereka-mereka itu sehingga bisa menghitam-putihkan warna negeri ini? Tahukah rakyat Indonesia bahwa Presiden RI yang bakal terpilih dapat mereka atur sesuai dengan hasil dari “deal or no deal” atas kekuasaan dan kewenangan mereka di negeri kita?
Pernahkan rakyat Indonesia menganalisa, bahwa setiap ada yang “usil” yang mengungkit kekuasaan cengkeraman perusahaan asing di negeri kita tercinta, selalu ada kejadian yang menghebohkan (sengaja dihebohkan) yang menimpa bangsa Indoneesia. Misalnya terorisme yang diawali pengeboman (sambil menunjukkan jarinya ke umat Islam), prostitusi artis, pembocoran rahasia negara (istana) dan sebagainya seakan-akan sudah diatur sedemikian rupa. “You berani? Negara you bisa kami kacaukan lho?” atau “you berani? rahasia you ada ditangan kami. Mau dibongkar nih?!” kurang lebih begitulah mungkin “warning” yang ingin mereka ungkapkan dengan kata-kata sehingga penguasa kita pun ciut nyalinya.
Miris, sudahlah tanah dan air kita dieksploitasi sumber daya alamnya, pihak asing juga ternyata tidak memperhatikkan keberlangsungan lingkungan sekitar. Ibarat pepatah, sudah jatuh tertimpa tangga digigit anjing pula dan anjingnya ternyata rabies. Sudahlah sumber daya alam dikuras, pemerintah diperas, rakyat pun akhirnya memelas (menjadi pengemis), dampak terhadap lingkungan pun juga semakin serius.
Akhirnya, rakyat Indonesia menjadi korban, hidup berada dibawah taraf kesejahteraan karena tanah dan kekayaannya dikuasai oleh pihak Asing dan “Aseng”. Pengelolaan penguasaan sumber daya alam haruslah benar-benar dikelola oleh pemerintah secara terpadu. Jika tidak, maka jangan heran suatu saat anak cucu kita bahkan kita sekarang ini menjadi “pembantu/budak di rumah kita sendiri”. Penggunaan teknologi canggih yang berbasis kearifan lokal haruslah digalakkan. Pemerintah jangan hanya merasa sukses membangun berbagai lembaga pendidikan dan bangunan yang megah, tapi SDM serta teknologi yang hebat haruslah ditekankan.
Selain itu, pemerintah hendaknya mampu dan benar-benar berkuasa dalam mengaplikasikan UU tentang alokasi pengelolaan sumber daya yang tepat. Karena sudah sepatutnya kita kembalikan tanah sorga berupa Indonesia ini demi kemaslahatan rakyat Indonesia secara menyeluruh.
***
“INDONESIA…, tanah airku…”, tetaplah khidmat menyanyikan lagu Indonesia Raya apalagi menjelang HUT Indonesia ke-80 ini, walau kita tidak memiliki secuil tanah di negeri sendiri. Tak perlu kita plesetkan “Indonesia tanah airmu…” sambil telunjuk kita tujukan kepada negara asing yang sedang menguasai negeri ini. Karena plesetan dan kritikan sekarang ini bisa membuat diri Anda “diundang mendadak” ke kantor aparat hukum, sebagaimana pengalaman saya dulu saat masih menjadi aktivis mahasiswa di Kota Malang Jawa Timur.
Tetaplah “Indonesia…, tanah airku…” yang penting jangan sampai “tumpah darah” hanya karena perebutan tanah dengan saudara sendiri. Tetaplah mencintai Indonesia walaupun para pengelola Indonesia sepertinya tak mengenal cinta ketika melakukan pengusiran (penggusuran kepada rakyat), mengorbankan anak negeri sendiri demi kepentingan Asing dan “Aseng”. Tak ada rasa terpaksa, kita harus tetap mencintai Indonesia karena kita mencintai para pahlawan yang telah memperjuangkan kemerdekaannya. Mencintai Indonesia di usia senjanya, 80 Tahun adalah mencintai para pejuang kita.
Dirgahayu Indonesia!