Memahami Moralitas Lewat Adiwira
--
Di mulai dari film “Batman” di tahun 1989, trilogi Spider-Man yang diperankan Tobey Maguire di tahun 2000an, sampai akhirnya film “Ironman” di tahun 2008 yang menjadi game changer dunia sinema dan memulai era Marvel Cinematic Universe.
Masyarakat dunia yang awalnya kurang familiar dengan pahlawan bertopeng, kini berbondong-bondong memasuki teater bioskop untuk menyaksikan para adiwira berjuang melawan penjahat super. Kepopuleran ini juga menjalar sampai ke Indonesia.
Sutradara sekelas Joko Anwar yang terkenal dengan karya horor “Pengabdi Setan” bahkan bersedia menyutradarai film “Gundala” di tahun 2019 yang diadaptasi dari komik berjudul serupa karya Hasmi. Menjadikan Gundala sebagai adiwira pertama Indonesia yang beraksi di layar lebar.
Banyak dari kita menganggap bahwa tontonan atau bacaan yang terkait dengan adiwira adalah hal yang tak perlu dikaji lebih dalam. Sebagaimana dengan tontonan anak-anak lainnya yang hanya dipandang sebelah mata.
Konsep adiwira sering diasosiasikan dengan anak di bawah 17 tahun atau tempat pelarian dari dunia nyata, padahal konsep adiwira sendiri menggunakan moralitas sebagai inti dari kisah mereka.
Seperti yang kita tahu, moralitas adalah sistem nilai yang membuat manusia bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Pada konsep fiksi ini, moralitaslah yang menjadi dasar tindakan apa saja yang akan mereka ambil sepanjang cerita. Tak jarang pula para penikmat akan disuguhkan dengan jalan cerita yang menguji moralitas para jagoan dan berujung pada dilema yang sulit untuk dipecahkan.
Pada semesta Marvel, kita bisa melihat adiwira seperti Spider-Man dan Captain America yang memiliki pandangan jelas antara baik dan buruk. Mereka membela yang lemah dan mencoba melawan penindasan.
Diikuti dengan anti terhadap pembunuhan penjahat, menjunjung tinggi privasi identitas, dan disukai mayoritas masyarakat. Moralitas seperti ini yang paling banyak dianut oleh sebagian besar adiwira.