Kerusakan Ekologis yang Parah, WALHI Babel Minta Pulihkan Lingkungan Babel
SUNGAILIAT - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Kepulauan Bangka Belitung (WALHI Babel) menyebutkan negara bisa dalam delusi menyelesaikan kasus korupsi tata niaga timah yang menyebabkan kerugian hingga Rp300 triliun. Pasalnya, masalah kerusakan ekologi di Babel yang menjadi korban utama dari kasus korupsi tata niaga timah bisa saja luput dari perhatian.
Padahal, akumulasi kerugian negara atas kerusakan lingkungan akibat tambang timah ilegal mencapai Rp271 triliun rupiah. Direktur Eksekutif WALHI Babel, Ahmad Subhan Hafiz mengatakan Babel dengan luas daratan mencapai 1,6 juta hektar, dalam kurun waktu enam tahun (2014-2020) telah kehilangan hutan tropis seluas 460.000 hektar. Kehancuran ekositem sungai dan mangrove yang sebenarnya memiliki peran penting dalam menghubungkan kebudayaan daratan dan laut Babel ikut rusak.
"Tercatat ada lebih dari 2.000 sungai yang bermuara di Selat Bangka dan pesisir timur yang berhadapan langsung dengan Laut Cina Selatan pada tahun 2019, sekitar 55 persen sungai tercemar. Diperparah dengan degradasi hutan mangrove seluas 10.858 hektar, hanya dalam kurun waktu satu tahun, 2019 -2020," kata Ahmad Subhan Hafiz kepada wartawan, Rabu (28/8).
Ia utarakan, pemulihan ekologi serta jaminan hak masyarakat atas lingkungan yang baik dan berkelanjutan menjadi syarat wajib pertanggungjawaban dari kasus korupsi tata niaga timah di Babel Eksploitasi pertambangan timah
menyebabkan angka lahan kritis di Babel kian bertambah. Tercatat oleh Dinas Lingkungan Hidup Babel, tahun 2022 mencapai 167.104 hektar dari total 1.668.933 hektar hutan dan lahan.
"Hancurnya ekologi akibat kasus korupsi pertambangan timah di kawasan hutan maupun luar kawasan ini seharusnya ditangani oleh multi stakeholder pemerintahan. Hingga saat ini belum ada sinyal untuk memulihkan ekologi Kepulauan Bangka Belitung yang rusak akibat massifnya eksploitasi pertambangan timah, Bahkan penetrasi tambang terus meluas hingga merusak ekosistem pesisir dan laut Babel” katanya.
Lebih lanjut ia terangkan, ancaman bencana ekologis di masa depan berupa kerusakan lanskap daratan Kepulauan Bangka Belitung yang mendorong terjadinya sejumlah bencana alam, mulai dari kekeringan, longsor,
hingga banjir. Di antara itu, yang tidak terlupakan.
Kejadian pada tahun 2015, di mana Pulau Bangka mengalami kemarau
panjang hingga lima bulan, setahun kemudian malah banjir besar menerpa Babel. Hampir seluruh wilayah di Babel terdampak, akses jalan lintas kabupaten terputus, air merendam ratusan bahkan ribuan rumah masyarakat. Hingga saat ini, peristiwa bencana terus menghantui Kepulauan Bangka Belitung. Hal ini didukung juga oleh analisis BPBD di tahun 2020. Pada tahun 2023, BPBD mencatat ada 1.084 bencana terjadi di Babel.
"Semuanya diperparah dengan krisis iklim yang semakin dirasakan oleh seluruh masyarakat global. Khusus di Babel, proses eksploitasi di daratan terutama pertambangan timah telah melebihi daya dukung lingkungan, sehingga menyebabkan bencana serta laju degradasi lingkungan dalam angka yang mengkhawatirkan," jelasnya.
Kondisi tersebut tidak hanya menimbulkan kerusakan lingkungan, aktivitas penambangan ikut memakan korban jiwa. WALHI Babel mencatat sepanjang 2021-2024, ada 38 orang meninggal dunia akibat kecelakaan tambang, dan 22 orang mengalami luka-luka.
Selain itu, ribuan kolong yang belum direklamasi terus memakan korban. Sepanjang tahun2021-2024, tercatat ada 22 kasus tenggelam di kolong. Dari 16 korban yang meninggal dunia, 13 diantaranya anak-anak hingga remaja dengan rentang usia 7-20 tahun.
"Kerusakan lingkungan pada kantung-kantung habitat buaya muara akibat tambang juga mempertajam kon?ik antara buaya dan manusia. Selama tiga tahun terakhir ada total 28 serangan buaya. Hal ini menyebabkan 15 orang meninggal dunia dan 13 orang luka-luka,” terangnya.
Untuk itu WALHI Babel mengimbau berbagai persoalan lingkungan di Babel harus diberikan dua pendekatan untuk menyelamatkan lingkungan. Pertama, dikembalikan dan dipulihkan lanskap adat yang selama ini dikelola masyarakat
adat. Kedua, pemerintah baik pusat dan daerah harus melahirkan sejumlah kebijakan yang benar-benar melindungi wilayah darat dan laut.
"Seperti moratorium izin, penegakan hukum lingkungan, dan pemulihan berbasis kearifan lokal. Kejagung juga harus memberikan transparansi terkait lanskap yang rusak akibat korupsi tata niaga timah di Babel, sehingga dalam proses penegakan hukum kasus korupsi ini juga berkonstribusi terhadap pemulihan lingkungan dan masyarakat terdampak. Tanpa tanggungjawab tersebut, penyelesaian kasus korupsi timah hanya delusi negara." tegasnya.(trh)