CERPEN MARHAEN WIJAYANTO: Rafli Belum Merdeka

ilustrasi-babelpos-

“Iya, biasa saja kali! Jangan-jangan sepulang dari IKN, dia jadi ninja macam kamu?”

“Saya juga dulu pengibar bendera. Biasa saja ya!” ucap guru kelasnya memotong hinaan pada Rafli. Dia dikatakan seperti prajurit tradisional Jepang. 

“Untung hanya kerudung yang dilepas. Bukan baju! haha.” 

Baginya itu menyakitkan. Namun itulah sekolah Rafli. Seisi sudut kanan dan kiri adalah para perundung. Sulit terbebas dari gurauan tak lucu.

Apakah mungkin hikmah pelajaran di sekolahnya tak berlaku di luar kelas. Hanya sekadar menuntaskan kurikulum?

Tendangan kaki  kawan  hal biasa. Mungkin jika belum menendang, temannya tak puas. Hingga apapun akan dilakukan agar puas. Itulah para perundung. 

“Woww! Mari kita sambut korban WWF kita! Haha”

Beberapa orang siswa memperagakan acara gulat di televisi yang sangat legendaris. Ada yang memiting,  menendang, dan yang lebih sadis Rafli dibanting di rerumputan berdebu. 

BACA JUGA:PUISI-PUISI HARI KARTINI SISWA SMAN 1 SUNGAILIAT

Anak sekecil Rafli mulai paham dengan ucapan guru kelasnya yang juga ikut merundung.  Betapa hati Rafli yang pagi tadi terasa penuh pelangi, sekarang kembali mendung. 

Kesedihan-kesedihan  semakin sesak di dadanya tak lagi terbendung. Seolah apa yang diraih kakaknya tak lagi berada di atas pelangi, melainkan kini terbawa ombak hitam di lautan, terombang ambing oleh badai dan jauh di laut palung.

Badut tetaplah badut, tapi Rafli bukan badut.  Semua manusia punya hak sama.  Semua orang menganggap Rafli hanya hiburan lucu satu sekolah, sampai lupa kalau dia juga punya hati, rasa yang layak, dan runtut.

Ia menyerah mengabarkan berita gembira hari itu. Rafli menangis tersedu. Perasaan anak kelas 2 SD korban perundungan di sekolahnya itu pilu. Namun ia tak berdaya, dianggap benalu. Tak ada satu orang pun di sekolahnya peduli dengan perasaan itu. 

Di saat semua orang merayakan kemerdekaan, dia hanya jadi bulan-bulanan  orang di kanan dan kirinya. Yang ia rasakan hanyalah perayaan semu. Acara-acara tujuh belasan hanya hura-hura dan rutinitas lalu.

 Mungkin bagi korban bullying seperti Rafli, acara kemerdekaan itu palsu.  Bisa jadi Rafli menganggap lomba-lomba seni, karnaval, dan gerak jalan hanya untuk memenangkan sekolah kesayangan para pejabat yang duduk di podium itu. Rafli belum merdeka. **

Tag
Share