MENGAPA NEGARA GAGAL?
--
Secara meyakinkan Daron Acemoglu dan James Robinson menunjukkan bahwa kesuksesan atau keterpurukan ekonomi suatu negara ditentukan dan dipengaruhi oleh institusi politik-ekonomi ciptaan manusia dalam negara yang tersebut atau negara yang bersangkutan. Salah satu contoh paling menarik adalah Korea. Korea Utara dan Korea Selatan memiliki kesamaan budaya, iklim, maupun geografis. Anehnya, rakyat Korea Utara termasuk yang paling miskin di dunia, sementara masyarakat Korea Selatan hidup serba berkecukupan sebagai salah satu negara termakmur di dunia.
Korea Selatan berhasil membangun masyarakat yang menghargai inovasi dan memberikan insentif bagi anak bangsanya yang kreatif dan berbakat, serta membuka peluang yang sama kepada segenap rakyat yang ingin memanfaatkan berbagai peluang ekonomi yang ada. Kemakmuran yang diraih oleh bangsa itu bisa dipertahankan sebab pemerintahnya bersikap akuntabel dan tanggap terhadap aspirasi warga.
Tapi rakyat Korea Utara sungguh menyedihkan. Selama berpuluh-puluh tahun mereka didera kelaparan, pemerintah yang represif, dan perangkat institusi ekonomi yang sama sekali berbeda—dan kondisi itu tetap dipertahankan atau dibiarkan entah sampai kapan. Perbedaan antara Korea Utara dan Korea Selatan itu berakar pada masalah politik yang menciptakan arah dan haluan institusi kemasyarakatan yang saling bertolak-belakang. Berdasarkan temuan dari penelitian orisinal yang mereka lakukan selama lima belas tahun, Acemoglu dan Robinson menghimpun bukti sejarah yang sangat meyakinkan dari Imperium Romawi, bangsa Maya, negara Venesia di Abad Pertengahan, Uni Soviet, Amerika Latin, Inggris, Eropa, Amerika Serikat, dan Afrika untuk membangun sebuah teori ekonomi politik termutakhir yang sangat tinggi relevansinya dengan berbagai isu besar yang kita hadapi dewasa ini.
Acemoglu dan Robinson tentu tidak ujug-ujug membangun kerangka pemikiran hanya untuk memisahkan kelompok negara yang kaya dan miskin, tetapi keduanya berusaha menelisik lebih jauh peran kekuasaan dalam negara terhadap lkehidupan warga negara didalam bangsanya sendiri. Apakah praktek kekuasaan yang yang otoritarian, kesewenangan, polarisasi, perusakan hukum, perusakan demokrasi, korupsi serta berbagai praktek kekuasaan yang fatalistik. Kondisi ini menjadi asumsi dasar untuk merespon kenapa negara gagal.
Sekalipun jauh sebelum Acemoglu dan Robinson mendedikasikan pikiran ini Omhae Kenechi sebagai seorang ahli strategi Jepang (dalam buku : Dunia tanpa batas, 1991) di tahun 80-90 an telah secara berani merilis satu pemikiran tentang kegagalan negara yang diakibatkan oleh lemahnya penegakan hukum dan terjadinya krisis legitimasi politik. Belum lagi adanya ancaman berbagai “teror perdagangan” seperti import negara yang berlebihan dengan pajak yang rendah. Ketergantungan secara ekonomi—sangat mengganggu urusan politik dalam negeri suatu negara. Secara teoritik dependensi ekonomi akan berdampak pada kebijakan politik suatu negara. Independensi atau kedaulatan suatu negara akan jadi pertanyaan---dan ini bagian dari bentuk penjajahan modern melalui kekuatan ekonomi. Bentuk nayatanya adalah ketergantungan karena hutang luar negeri.
Saya (penulis) mencoba melacak keterkaitan pikiran masa lalu dan masa depan dengan obyek sengketa negara sebagai instrumen untuk mewujudkan tujuan-tujuan bernegara yang baik dan ideal dalam kerangka kehidupan yang demokratis. Pesimisme dan optimisme tentu dua hal yang akan menelanjangi “realitas kekinian” tanpa rasa frustasi. Optimisme, karena masih tumbuhnya daya kritis dari warga negara (civil society) sekalipun tensinya semakin turun, tetapi aksi protes dengan pidato, aksi massa, tulisan dan diskusi masih terbukti ada. Pertanyaannya adalah apakah semua itu berpengaruh terhadap kondisi negara?, jawabannnya bisa iya bisa tidak, tergantung proporsi dan profesionalisme serta idealisme yang dimiliki. Walaupun krisis ideologi termasuk krisis idealisme cendrung nampak dipermukaan.
Pesimisme dan optimisme keduanya adalah peran spikologi manusia sebagai kodrati. Keduanya akan nampak bila dihadapkan pada satu realitas tertentu. Nah, pesimisme tentu selalu ada ketika “suara dan pendengaran” tidak lagi inheren terhadap keadaan yang ada. dalam pengertian realitas selalu bertentangan dengan idealitas. Negara yang semena-mena, para kaum civil society tak berfungsi---maka pesimisme menjadi jawabannya. Itu manusiawi dan lumrah.
Tetapi kembali ke obyek “mengapa Negara gagal”, tentu akan banyak variabel yang membersamai kegagalan itu. Dengan meminjam pikiran Omhae Kenechi, Daron Acemoglu dan james Robinson diantaranya ; (1) Hutang luar negeri yang menumpuk yang mencapai 8000 Trilyun. (2) Korupsi yang semakin merajalela dihampir semua tingkatan lembaga negara dan politik. (3) Hukum yang carut marut. (4) Indeks demokrasi yang semakin turun. (5) Rupiah yang semakin melemah atas Dollar. (6) Kerusakan lingkungan hidup. (7) Tidak berfungsinya secara optimal kontrol politik, termasuk peran partai politik. (8) Melambungnya harga kebutuhan pokok yang tidak terkendali. (9) Lemahnya penegakan hukum. (10) Kecurangan dalam sistem pemilihan umum. (11) Pajak, BBM, listrik, Gas semua tak terkendali.