MENGAPA NEGARA GAGAL?

--

Oleh : Saifuddin

 

Direktur Eksekutif LKiS

Penulis Buku : Politik Tanpa Identitas, Obituari Demokrasi, Elegi Demokrasi, catatan Cacat-an Demokrasi

______________________________________ 

 

Ini akan menjadi hal terpenting untuk melihat bagaimana peran negara dan penguatan ekonomi global diera postruth. Globalisasi telah berhasil menyasar peran-peran civilitation (warga negara) di dalam perannya terlibat dalam aksi-aksi market global ekonomi. Digitalisasi sebagai produk globalisasi menyeret manusia melek tehnologi dan memaksanya untuk “terlibat” secara langsung dalam pusaran dunia yang tanpa batas. 

 

Ketimpangan dalam ekonomi sesungguhnya berakar dari kapitalisme yang telah menegasikan konsep market yang luas tetapi penguasaan pasar masih sangat dikendalikan oleh kaum borjuasi (pemilik modal). Marx sebagai pihak yang di klaim sebagai poros sosialisme memandang ketimpangan sebagai siklus dari perilaku kehidupan manusia. Gap sosial (ketimpangan) antara pekerja dengan majikan (Borjuasi dengan proletariat) bagi Marx adalah perlawanan atas kesadaran obyektivitas atas realitas. Bagaimana kiblat ekonomi berpihak pada kaum oligarkhis (Baca Oligarkhi : Jeffrey Winters) menjadi ruang bencana ketimpangan. 

 

Sebab itu pemikiran yang luar biasa dahsyat dan bernas, ––Steven Levitt, co-author Freakonomics memberi testimoni terhadap tesis dari daron Acemoglu dan james A. Robinson tentang mengapa negara gagal (Why Nation Fail) yang memikat ini dengan menjawab pertanyaan yang memusingkan para pakar selama berabad-abad: Kenapa ada negara kaya dan miskin, kenapa harus ada jurang pemisah berupa kemakmuran dan kemelaratan, rakyat yang sehat dan sakit-sakitan, rakyat yang kenyang dan mereka yang dicekam kelaparan? Benarkah perbedaan itu disebabkan oleh faktor budaya, iklim, atau posisi geografi suatu negara? Mungkinkah itu dipicu oleh kebodohan atau ketidaktahuan penguasa tentang arah kebijakan yang tepat bagi kemaslahatan rakyatnya? 

 

Tentu jawabannya: bukan. Berbagai faktor itu tidak ada sangkut-pautnya dengan kesenjangan yang tadi disebutkan. Teori budaya, iklim, geografi, maupun kebodohan penguasa bukanlah faktor definitif yang menentukan takdir suatu bangsa. Kalau ketiga teori tadi benar adanya, lalu bagaimana kita bisa menjelaskan anomali yang mencolok ini: Botswana berhasil meraih predikat sebagai salah satu negara termaju di dunia, sedangkan negara-negara Afrika yang lain seperti Zimbabwe, Kongo, dan Sierra Leone masih terjebak dan kemiskinan dan kekerasan? 

 

Tag
Share