Bak
Ahmadi Sopyan--
Oleh: AHMADI SOFYAN
Penulis Buku/Pemerhati Sosial Budaya
BAK memang sosok sangat-sangat pendiam, sejak kepergian Mak beberapa tahun silam, sifat pendiamnya semakin menghujam, bahkan kesehatannya drop hingga harus beraktivitas dari atas kursi roda.
SETIAP kawan yang pernah bertemu sosok Bak untuk pertama kalinya, mereka pasti berkomentar bahwa saya berbeda sekali dengan Bak yang sangat-sangat pendiam. Bahkan ada beberapa kawan yang baru pertama kali bertemu Bak, mengatakan bahwa ia kikuk dan sungkan, karena Bak sangat pendiam dan hanya tersenyum saja kala diajak ngobrol. Kepada kawan-kawan itu saya katakan bahwa dari sisi mulut dan mental, saya “nurun” dengan Mak, bahkan fhotocopy Mak. Tapi dari sisi teliti dan dokumentasi serta pemikiran, cenderung kepada Bak. Kalau sifat “garang” dan ngotot serta tak mau kalah, itu sifat Mak yang sangat-sangat “nurun” kepada saya. Sedangkan gaya dan wajah Bak, cenderung “nurun” kepada anak Bak yang paling bungsu, Husnan. “Kalau mau melihat bagaimana gaya dan wajah Bak masih bujang, lihatlah Husnan” begitu kata Mak kala Husnan masih remaja.
Bak hanya tamatan SR (Sekolah Rakyat), tapi sangat teliti dalam pembukuan dan terlebih angka-angka keuangan, keluar masuk belanjaan dan berbagai peristiwa di keluarga kami. Walau dikenal sangat pendiam dan sekolahnya rendah, Bak berpuluh-puluh tahun dipercaya masyarakat Desa Kemuja dalam mengurus Keuangan Lembaga Kesejahteraan Desa (LKD) yang memiliki ratusan hektar kebun karet. Tidak hanya itu, pengelolaan keuangan Pondok Pesantren Al-Islam Kemuja pun pernah dipercaya kepada Bak. Belum cukup, Taman Murni untuk mengurus keuangan perkuburan pun diserahkan kepada Bak. Belum selesai, keuangan dan pembukuan Masjid Besar Rahmatuddin Desa Kemuja, lagi-lagi Bak dipercaya menjadi Bendahara sekaligus “tukang” belanja barang pembangunan Masjid yang jumlahnya Milyaran. Bahkan yang lebih aneh lagi, tidak sedikit orang-orang (juragan kampung) menitip uangnya untuk disimpn Bak. Kami dulu menyebut Bak adalah Bank. Sebab dikamarnya tersimpan uang lumayan banyak di Peti Besi buatan Jerman yang usianya ratusan tahun, sampai sekarang masih kokoh.
Walaupun banyak uang tersimpan di kamarnya, Bak tak punya barang mewah. Bahkan pakaiannya dibelikan oleh anak-anak. tak jarang ia memakai pakaian bekas dari anak-anaknya yang sudah besar. Bahkan rumah yang Bak diami bersama Mak dan 10 orang anaknya adalah rumah peninggalan Atok (Kakek). Bak tak pernah punya mobil, tak pernah punya motor, bahkan tak pernah punya sepeda pancal. Satu-satunya sepeda pancal yang ia pakai adalah pemberian dari Paman yang ia gunakan ke kebun guna membonceng Mak. Dulu semasa kecil saya sering dibonceng. Sampai sekarang sepeda pancal itu masih ada. Suatu hari, disaat saya duduk diteras bersama Bak, tiba-tiba ada orang yang mencari rongsokan menawarkan sepeda Bak yang tergantung disamping rumah. Saya tanyakan: “Berani beli berapa?” Pencari rongsokan itu menawarkan 30 Ribu Rupiah. Kepada pencari rongsokan itu saya jawab: “Mas liat itu mobil di depan?” seraya telunjuk saya mengarah ke mobil sedan BMW saya yang parkir di samping Masjid Rahmatuddin, persis di depan rumah Bak. “Iya, Pak”jawab pencari rongsokan. “Itu mobil ada karena sepeda pancal yang digantung itu. Jadi jangankan 30 ribu Rupiah, 30 puluh juta kayaknya kami masih mikir untuk menjualnya, karena jasanya besar”. Mendengar ocehan itu, Bak tertawa ngakak yang diiringi tawa sang pencari rongsokan. Akhirnya gagal total tawaran untuk pembelian sepeda penuh jasa tersebut.
Bak sosok yang mandiri tak sekalipun menyusahkan anak-anaknya. hidupnya terlalu menggunakan hati (nggak enakan). Misalnya beberapa tahun silam kita ketahui Bak sudah susah melihat, matanya katarak. Dia tidak pernah mengeluh, tapi kita anak-anak yang harus kepo mengenai Bak. Saya dan saudara yang lain bawa Bak ke dokter mata dan dinyatakan harus segera dioperasi. Saya iyakan dan tiba-tiba Bak menanyakan soal biaya kepada Dokter. Setelah Dokter menyebut angka atas biaya operasi, Bak langsung menghampiri saya dan mengatakan tidak usah operasi. Ia mengaku matanya masih bisa berfungsi. Saya tertawa sebab saya tahu Bak keberatan soal biaya. Lalu saya pun bertanya sambil senyum: “Kenapa? Masalah biaya?” Mendengar itu Bak pun tersenyum dan menjawab: “Iya, mahal sekali”. “Anak Bak banyak, ada 9 orang yang akan membayarnya. Nanti saya yang koordinir”. Bak masih sempat protes dan mengatakan nggak enakan sama anak-anaknya. masih sangat banyak cerita kebersahajaan Bak dimata anak-anaknya. bahasa kami urang kampung, Bak adalah sosok “dak banyek kenek” (tidak banyak mau dan dak berlebihan).
Tidak hanya itu, masalah keuangan Bak tidak pernah mau minta kepada anak-anaknya. Setiap ditanyakan apakah masih ada uang? Ia selalu menjawab masih. Suatu hari diketahui oleh kakak, Bak minjam uang kepada LKD (Lembaga Kesejahteraan Desa) saat hendak berangkat mengobati Mak ke Yogyakarta. Mendengar itu, saya langsung nemui Bak dan menanyakan pelan sama beliau kebutuhan apa dan mengapa harus meminjam? Lalu pelan saya katakan bahwa Bak tidak boleh minjam uang kepada siapapun. Kalau tidak ada uang, harus minta sama anak-anak. Lantas uang yang dipinjami itu pun sudah tergantikan oleh anak-anak sekaligus ditanyakan apakan Bak memiliki hutang piutang selama mengurus kebun karet masyarakat ratusan hektar di LKD? Alhamdulillah menurut pengakuan pengurus, Bak tidak memiliki hutang sama sekali.
Sejak muda, kami mengenal Bak sosok yang tidak pernah mengeluh, tidak pernah protes dan apa adanya. Sangat bersahaja dan sangat “nrimo” dengan keadaan. Kalau masakan di meja kurang cocok, beliau hanya makan sedikit. Kebiasaannya makan harus ada kerupuk. Selama hidup sepertinya Bak tidak pernah minta menu ini menu itu untuk ia nikmati. Ia dikenal sangat pendiam dan santun. Walaupun rumah kami sering didatangi pejabat sejak dulu (sebab Pama kami, H. Supron Azhari dan Suplan Azhari adalah pejabat di pemerintahan). Bak hanya diam dan sekedar ikut duduk nimbrung tanpa harus bicara. Pun demikian di era saya memiliki banyak sahabat diberbagai kalangan, baik pejabat, tokoh maupun artis. Ketika datang ditemui dan ngobrol di rumah, Bak hanya duduk di pojok dan tidak bicara kecuali hanya ditanya. Ia lebih banyak senyum saja mengikuti arah bicara tamu. Bahkan yang paling saya ingat, ketika H. Rhoma Irama datang ke rumah, Bak malah berbisik sama saya. “Boleh nggak saya salaman sama Rhoma?”. Mendengar itu saya terdiam seakan hendak meneteskan air mata, lantas saya rangkul Bak dan langsung membawa ia ke hadapan Rhoma Irama. Lantas ia pun disalamin dan dipeluk oleh Sang Raja Dangdut.
Walau Bak adalah anak seorang Kiyai, tapi dirinya tidak pernah secuil pun sok agamis dan berpenampilan agamis melebihi orang-orang di kampung. Hanya kain sarung dan kopiah hitam serta baju koko saja. Bak sangat bersahaja sekali dan cenderung menolak jika diminta menjadi Imam Sholat atau memimpin tahlil. Suatu hari, saya tanyakan mengapa sering menolak ketimbang menerima ketika diminta masyarakat?. Dengan tegas Bak menjawab: “Selama masih ada orang lain yang ahlinya dan lebih baik dari kita, mereka lah yang berhak. Pertanggungjawabannya sangatlah besar di akhirat”. Kalimat itu terngiang ditelinga saya dan menjadi salah satu pegangan dalam kehidupan agama kami anak-anak di kampung. Walau kakek salah satu pendiri pesantren Al-Islam Kemuja, tapi tidak ada satupun anak-anak Bak dan cucu-cucu Kakek yang berkiprah menjadi pengurus Pesantren tersebut. Begitulah kami anak-anak Bak dididik untuk tidak cawe-cawe kepada sesuatu yang kita bukan ahlinya.
Oya, sejak saya selesai kuliah, beberapa kali Pemilu (kecuali Pemilu 2024 ini) Bak hampir selalu menanyakan kepada saya. “Kamu nggak nyalon?”. Kepada Bak saya selalu bercanda: “Berik kek urang lah, kek urang ge dak cukup” (Kasih orang lain saja, untuk orang lain saja nggak cukup). Saya tahu Bak punya keinginan khusus kepada saya, yang tak pernah terpenuhi hingga kini. Ada pesan Mak kepada semua kami anak-anak yang saya sangat ingat sekali, yakni: “Kalau mau belajar tawadhu dan tidak punya sifat iri dengki, belajarlah kepada Bak dan lihatlah kehidupannya”.
***