Kita Perlu Belajar Nyata

Kristia Ningsih-Arsip Babel Pos-

Ketika Ibu Rani akan mengajar materi keuangan digital, ia meminta muridnya untuk mencari tahu mana bank yang berlayanankan membuka rekening secara virtual tanpa harus datang berkunjung ke kantor cabangnya. 

 

Oleh Kristia Ningsih (Penulis Lepas)

 

Kemudian, sang guru mengajarkan bagaimana mengelola keinginan untuk membeli sesuatu hingga langkah-langkah keuangannya. Lantas muncullah sebuah soal, dalam 1 bulan Andi ingin membeli tas seharga 100 ribu, peserta didik akan memikirkan berapa uang yang harus ia tabung setiap hari atau setiap minggu. 

Ada pula anak-anak yang diajak langsung turun ke pasar, untuk melihat bagaimana transasksi jual beli di sana. Ibu Rani telah menerapkan pembelajaran yang realistis bukan hanya teoretis. Hal ini tidak seperti pengajaran ekonomi SMA pada masa-masa sebelumnya, yang mengenalkan ekonomi hanya dari dalam ruang kelas.

Mendengar ilustrasi ini pertama kali, penulis sadar bahwa jika saja penulis sebagai peserta didik Ibu Rina, tentu dahulu akan lebih mudah memahami materi Ekonomi. Hal ini berkaitan dengan pengalaman penulis sendiri ketika kelas X dahulu, yang pening di kelas ekonomi. Tanpa bermaksud merendahkan sang guru, tidak pernah sekalipun pembelajaran turun ke lapangan. Seolah-olah kegiatan transaksi keuangan selama hidup penulis kala itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan pelajaran Ekonomi. 

Sampai-sampai ada ibu-ibu mengatakan tentang anaknya, “Kalau matematika dia tidak pintar, tetapi kalau menghitung uang jajan, dia paling pintar.” Tidakkah dalam olok-olok itu seolah ada kekeliruan nyata bahwa berhitung dengan menghitung uang tidak berhubungan sama sekali? Padahal jelas, matematikalah yang membantu ekonomi dalam hal hitung uang belanja hingga kembaliannya.

Hal inilah yang harus kita ubah dalam pendidikan. Jangan sampai kita sebagai petugas pendidikan yang mengajar malah mengangguk-angguk setuju bahwa kita telah mengajar hal yang teoretis, kurang nyata hingga kurang realistis dan kurang manfaatnya untuk kehidupan nyata.

Jika demikian, makin tidak mengesankanlah pendidikan kita hingga karenanya hal ini yang melatarbelakangi banyak orang lebih memilih home schooling. Seperti salah satu contoh keluarga dengan dua putri yang masih SD, sang ayah memilih membeli tanah di tengah hutan, membangun aliran air dan menata listrik sendiri. Mereka menjalani slow living ketimbang ingar ingar kehidupan semu kota. 

BACA JUGA:Lima Kenikmatan yang Dapat Dirasakan Berzakat

Keluarga ini membiarkan kedua putrinya bereksperimen. Dua putrinya mengupas kulit lidah buaya, tanaman herbal yang wangi si rosemary dan telur yang dikocok dengan minyak. Kemudian, anak-anak itu mengeramas sang pembawa acara yang tinggal beberapa hari dengan mereka untuk melihat bagaimana kehidupan dan pendidikan keluarga tersebut. 

Terkadang mereka sibuk dengan belajar memasak telur dadar atau pancake sendiri. Mereka tidak perlu teori dan mulai melakukan kesalahan agar dapat melakukan suatu hal dengan baik. Saat menonton itu, penulis langsung merasa, ya pendidikan dan sistemnya masih kerap mengecewakan. Hingga saat ini di Indonesia misalnya, mutu mendidikan masih rendah. Kegiatan baca tulis di media sosial kita pun dikenal sebagai cerminan warga internet tak bersopan santun.

Inilah saatnya paradigma baru yang muncul 2021 lalu bernama Kurikulum Merdeka perlu kita terapkan. Kurikulum ini memungkinkan seorang guru turun ‘gunung’ demi anak didiknya. Melihat langsung apa yang di lapangan menjadikan lebih mudahnya pemahaman sekaligus penerapan suatu ilmu. 

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan