Arisan: Perdata atau Pidana? Menjaga Kepercayaan sebagai Modal Sosial
Luthfi Amrusi.-Dok Pribadi-
Oleh: Luthfi Amrusi, S.H.
(Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Pertiba)
Arisan adalah tradisi yang tumbuh dari nilai gotong royong dan rasa saling percaya. Di lingkungan masyarakat, arisan bukan hanya soal uang, tetapi juga sebagai simbol persaudaraan dan komitmen moral untuk saling mendukung satu sama lain. Namun, di tengah perkembangan sosial serta digital, pertanyaan sering muncul: apabila terjadi masalah dalam arisan, apakah ini persoalan perdata atau pidana? Pemahaman yang jernih terhadap hal ini sangat penting, agar kita dapat menjaga nilai luhur arisan itu sekaligus melindungi hak-hak masyarakat.
Secara prinsip, arisan merupakan perjanjian perdata. Hal ini sesuai Pasal 1320 KUHPerdata yang mensyaratkan adanya kesepakatan, kecakapan, objek, dan tujuan yang halal. Dalam arisan terdapat janji menyetor uang secara berkala dan menerima giliran sesuai kesepakatan. Apabila pengurus terlambat membayar atau peserta sulit melunasi karena keadaan ekonomi, maka persoalan demikian termasuk ranah wanprestasi sebagaimana Pasal 1243 KUHPerdata. Bahkan juga ditegaskan oleh Mahkamah Agung melalui Putusan Nomor 2071 K/Pdt/2006 bahwa hubungan antara peserta arisan dengan pengurus adalah hubungan keperdataan yang menimbulkan tanggung jawab apabila kewajiban tidak dipenuhi.
Dalam situasi seperti ini, penyelesaian sepatutnya ditempuh adalah melalui dialog, mediasi, atau gugatan perdata, bukan hanya langsung membawa ke ranah pidana. Pendekatan ini selaras dengan asas ultimum remedium, yaitu pidana merupakan jalan terakhir.
Namun hukum juga mengingatkan kita, bahwa arisan juga dapat masuk ranah pidana apabila sejak awal terdapat niat tidak baik (mens rea). Misalnya, seseorang mengatasnamakan arisan tetapi menggunakan tipu muslihat, menjanjikan keuntungan berlebih, atau menyelewengkan dana peserta untuk kepentingan pribadi. Dalam kondisi ini, unsur penipuan sebagaimana Pasal 378 KUHP atau penggelapan Pasal 372 KUHP juga memungkinkan terpenuhi.
Apabila promosi dilakukan melalui media digital serta informasi yang disampaikan menyesatkan, maka Pasal 28 ayat (1) jo. Pasal 45A UU ITE juga dapat diterapkan. Bahkan dari perspektif perlindungan konsumen, UU No. 8 Tahun 1999 memberikan perlindungan bagi mereka yang dirugikan karena janji palsu atau informasi tidak benar. Pasal 8 UU tersebut menegaskan larangan bagi pelaku untuk memberi keterangan yang tidak sesuai fakta, sementara Pasal 7 mewajibkan itikad baik dan informasi yang jujur. Dengan demikian, apabila penyelenggara arisan menjanjikan keuntungan tidak wajar, menutupi risiko, atau tidak transparan, maka ia dapat dimintai pertanggungjawaban pidana dan perdata sekaligus.
Keseimbangan inilah yang perlu dipahami kita sebagia masyarakat tidak semua masalah arisan adalah ranah pidana, tetapi ketika niat curang muncul, hukum pidana wajib hadir dan ditegakkan. Agar tidak terjadi salah paham dan salah langkah, maka dari itu masyarakat perlu meningkatkan kecermatan dan kehati-hatian.