Permintaan Rasum
Sudi Setiawan.-Dok Pribadi-
Cerpen Sudi Setiawan
Setelah tujuh hari kematian istrinya, Rasum dengan luka dalam terus mendatangi pemakaman yang masih basah. Berhari-hari pula, tangisnya belumlah usai. Semakin bertambahnya waktu, ia semakin tak bernafsu hidup. Nyawanya sudah setengah melayang entah ke mana, melepaskan jiwanya sendirian. Di petak rumah beratap rumbiak dengan bau asap arang sisa pembakaran satu minggu lalu, lelaki itu semakin kurus prihatin. Tercium pula pekatnya nasi yang telah membusuk yang tak kunjung dibersihkan.
Rasum dengan rupa menyedihkan, menangis menantikan istrinya kembali. Nyatanya, kematian adalah satu hal yang tak bisa ditolak maupun ditukar. Jika diberi pilihan, Rasum memilih mati dulu meninggalkan Sari menjadi janda dan merawat anak mereka yang masih kecil. Paling tidak, asi untuk anaknya akan tetap menjadi darah dan memberinya gizi. Tuhan berkehendak lain, menjadikan Rasum duda beranak satu.
Hari-hari Rasum belakangan ini hanya menyambung tangis di makam Sari pada pemakaman adat yang mulai didatangi perkebunan sawit. Menyiraminya dengan air minyak Fanbo, mengganti bunga-bunga layu dan menanyakan apakah dirinya bisa hidup tanpanya. Kadang-kadang, Rasum tak ingat jika Rasi-anak laki-laki mereka-sedang menangis kencang di pelukan mertuanya.
Pak Jam ingin meminta menantunya itu untuk Ikhlas-sebab-dunia tak berhenti jika ia ingin menyusul istrinya. Anaknya perlu Bapak yang hangat ketika ia tumbuh. Mertuanya menyusul di pemakaman, meminta Rasum kembali. Rasum mengangguk. Sadar sudah seharian menghabiskan hari ini dengan meratap dan ingin menyambungnya esok.
Sayu matanya ditatap oleh Pak Jam, mertuanya iba merasakan malangnya laki-laki kurus itu ke sekian kalinya. Hingga ia membawanya pulang. “Sum, besok temani Bapak ke rumah Nek Dar. Anakmu meriang, tak baik jika di diamkan saja,” kata Pak Jam mengajak menantunya berbicara. Rasum mengangguk.
Walaupun tampak sayu, mertua ingin melihatnya kembali segar tanpa seseorang yang telah pergi. Esok hari, bahkan matahari masih belum muncul, Pak Jam mengantarkan cucunya Bejampik . Tidak ada yang salah di antara mereka, jika ingin menemui tenaga kesehatan perlu waktu lama keluar dari dusun yang diapit perbukitan terjal. Lagi pula, Nek Dar sudah seperti titipan leluhur untuk warga dusun.
Di teras rumah, Rasum melihat banyak sekali tanaman dirawat dengan baik, ia bisa melihat beberapa tumbuhan hutan subur merambat ditiang rumah, berkembang dengan meriah dan sejuk ketika dipandang. Nek Dar menyambut hangat kedatangan mereka berdua ditambah bayi yang masih terlelap dipelukan. Nek Dar murung melihat anak itu, rupanya pucat pasi dan tidur kelelahan.