AWAL TIMAH DITEMUKAN DI PULAU BANGKA (Bagian Dua)

Akhmad Elvian-screnshot-

Oleh: Dato’Akhmad Elvian, DPMP

Sejarawan dan Budayawan Bangka Belitung

Penerima Anugerah Kebudayaan Indonesia

SEKITAR Tahun 1671 Masehi, Bupati Nusantara juwaraja (Raja Muda) Kesultanan Banten yang berkuasa di Bangkakota Pulau Bangka wafat, kekuasaan atas Pulau Bangka secara langsung kemudian dilimpahkan kepada putrinya yang kemudian bergelar Ratu Agung yang telah menjadi istri sultan pertama dari Kesultanan Palembang Darussalam (menikah pada Tahun 1666 Masehi), Kiai Mas Hindi Pangeran Kesumo Abdurrohim bergelar Susuhunan Abdurrahman Khalifatul Mukminin Sayyidul Imam. 

-------------------

KEKUASAAN atas Pulau Bangka selanjutnya diserahkan Ratu Agung kepada suaminya Susuhunan Abdurrahman Khalifatul Mukminin Sayyidul Imam dan Pulau Bangka secara resmi melalui ikatan perkawinan (perkawinan politik) menjadi bagian dari wilayah Kesultanan Palembang Darussalam dan berstatus sebagai wilayah sindang yang mardika atau bebas (Elvian, 2012:52). Proses peralihan kekuasaan atas Pulau Bangka dari Kesultanan Banten ke Kesultanan Palembang Darussalam melalui ikatan perkawinan sedikit menimbulkan gejolak dan penentangan dari beberapa pemimpin tradisional di Pulau Bangka, oleh krio/kria, dan para batin, terutama yang kekuasaannya berada di wilayah pesisir Barat Pulau Bangka, akan tetapi riak kecil terutama yang dilakukan oleh Qurata seorang Krio/kria di daerah Pering yang penentangan atau ketidaksetujuan tersebut kemudian dapat diatasi dengan mudah oleh kesultanan Palembang Darussalam.

Pada Tanggal 13 Februari 1682 Masehi, Pangeran Aria, putera sultan Abdurrahman mendirikan Benteng di Bangkakota, di sungai bernama sama yaitu sungai Bangkakota, dengan Satu unit pasukan dari Makassar sekitar 50 Orang. Pembangunan Benteng ini terutama bertujuan untuk mengamankan jalur sempit pelayaran dan perdagangan di Selat Bangka yang terletak dekat dengan Bangkakota, terutama jalur perdagangan Lada dan Timah. Selengkapnya: “Den Pangeran Aria, twee de soon des ouden konings van Palembangs, soude (volgens bericht) met goede informatie en belijt van zijn vader na’t eijlant Banca vetrocken zijn om aldaar aen een reviertje genaemt Banca Kotta een goede heghte pagger op te werpen en sigh met rooven te behelven, mitgaders alle vijtge weeckene en omswervende Maccassaren van alle platsen, onder belovte van bescherminge na derwaarts materwoon te loocken om door ...... Dagh-Register 13 Februari 1682 Vol.I, hal. 169). Pembangunan benteng di Bangkakota mendapat protes dari VOC karena dianggap mengganggu jalur perdagangan Lada dan Timah VOC. 

Sultan Abdurrahman sebagai pendiri Kesultanan Palembang Darussalam telah meletakkan tata kehidupan sosial, ekonomi, politik dan budaya yang kuat bagi masyarakat dalam wilayah Kesultanan Palembang Darussalam termasuk di wilayah Sindang (Pulau Bangka). Wilayah Sindang adalah sebutan untuk suatu daerah yang berada di perbatasan wilayah kesultanan dan penduduk di daerah Sindang memperoleh status Mardika yang berarti merdeka atau bebas. Tugas utama penduduk daerah Sindang adalah menjaga perbatasan (Hanafiah, 1995:171). Di samping wilayah Sindang, wilayah Kesultanan Palembang lainnya adalah wilayah Sikap (Sikep) dan wilayah Kepungutan yang terletak di dekat pusat kekuasaan kesultanan (iliran) dan di wilayah huluan Palembang. Pembangunan benteng-benteng atau kubu/parit pertahanan pada masa sultan Abdurrahman merupakan kebijakan politik dan ekonomi kesultanan. 

Sultan Abdurrahman mewajibkan bagi daerah-daerah tertentu untuk mengembangkan tanaman Lada. Ia juga membuat sistem perairan yang dibuat antara Ogan, Komering, dan Mesuji, yang tidak saja digunakan untuk pertanian, namun juga untuk kepentingan pertahanan (Hanafiah, 1995:197-200). Wilayah-wilayah batin di Pesisir Barat Pulau Bangka secara umum merupakan wilayah Sindang dan tampaknya pada masa Sultan Abdurrahman, tanaman Lada (disebut Sahang atau Sang) dikembangkan di Pulau Bangka, akan tetapi seiring dengan mulai dieksploitasinya Timah secara besar-besaran, karena harga Timah di pasaran dunia meningkat dan Timah menjadi komoditas yang laku di pasaran dunia, kebijakan kesultanan Palembang untuk wilayah Pulau Bangka diubah dan lebih dikembangkan pada sektor pertambangan Timah. 

Kebijakan penanaman Lada lambat laun mulai ditinggalkan dan penduduk Pulau Bangka lambat laun mulai beralih perhatiannya ke sektor pertambangan Timah dengan dibukanya parit-parit penambangan Timah dengan tekhnologi sederhana melalui sistem pelubangan berpindah (Tobo-alih). Baru beberapa abad kemudian yaitu sekitar abad 19 Masehi, terutama setelah perang semesta rakyat Bangka yang dipimpin oleh Depati Amir (Tahun 1851), tanaman Lada kembali diperkenankan bagi penduduk Pulau Bangka dan Lada kembali memasuki era kejayaannya di Pulau Bangka. 

Teknik awal penambangan Timah di Pulau Bangka sama seperti teknik masyarakat pribumi Bangka melakukan penambangan pasir Besi (besi berani) di daerah Pakuk. Pada masa itu sebagaimana dijelaskan (Heidhues, 2008:16) dilakukan dengan teknik pelubangan. Penduduk asli menggali lubang kecil sedalam Enam kaki, terkadang dihubungkan dengan terowongan. Satu atau Dua orang pria bekerja di lobang dan terowongan, mengangkut tanah berisi bijih Timah di keranjang untuk dicuci dan dipisahkan di sungai terdekat. Penggalian atau pelubangan (sistem tebuk/tebok=tobo) dilakukan berpindah-pindah atau dialihkan (Melayu: “alih” berarti pindah atau geser, dalam dialek Toboali disebut “ale”) bila tidak dijumpai lagi Timah dalam jumlah atau deposit yang banyak. Di daerah Toboali, pada Tahun 1803 Masehi, seluruh penambangan Timah dikerjakan dengan metode pelubangan semacam ini oleh orang-orang asli Bangka (laporan Heynis, ANRI, Arsip Nasional Republik Indonesia, Bangka 21 B). Sejak awal ditemukan deposit, Timah ditambang dengan cara ini dan berlangsung berkisar 12 (Duabelas) Tahun sampai Palembang di bawah Sultan Mahmud Badaruddin (Lange, 1850:16). Maksud Lange di sini adalah Timah di Pulau Bangka awalnya ditambang dengan tekhnologi Toboalih sampai masa pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin I Jayo Wikromo (Tahun 1724-1757 Masehi). Setelah masa itu Timah ditambang dengan teknik Kulit (teknologi yang dibawa orang Cina) dan teknik Kulong dan tekhnologi Kulong Kulit. 

Tekhnologi awal penambangan Timah dengan sistem pelubangan (tebuk/tebok/tobo+alih/ale) adalah kearifan lokal yang merupakan  kekayaan intelektual masyarakat Bangka khususnya di distrik Toboali Bangka Selatan. Karena Timah yang dihasilkan diangkut ke Palembang dan kemudian baru dibawa ke Batavia dengan kapal-kapal angkut Palembang, maka dalam literatur-literatur terakhir abad 19 sering disebut dengan Timah Palembang yang dihasilkan melalui sistem atau teknik pelubangan yang disebut sumur Palembang (Palembang Putjes). Pada masa akhir pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin I Jayo Wikromo, dalam wilayah yang luas meliputi Toboali, Nyeery (Nyireh), Ulim, Permissang, Banko-Kutto dan wilayah lainnya di sepanjang pantai Barat pulau Bangka (ke Selatan Kutto-Waringin), kegiatan pertambangan juga hampir tertutup dilakukan oleh penduduk asli (tekhnologi Tebok/tobo-alih/ale), kegiatan peleburan atau penyempurnaan (pemurnian) dari bijih Timah sedikit mengadopsi teknologi yang diperkenalkan oleh orang Cina, sementara dalam penambangan partai-partai kecil tidak mengggunakan metode atau teknologi yang biasa digunakan di bagian lain dari pulau (maksudnya tekhnologi Kulit dari orang-orang Cina di Bangka Barat dan Utara). Beberapa daerah terakhir yang disebutkan menuju ujung Selatan, masih sangat kaya akan kandungan bijih Timah (Horsfield, 1848:312). Berdasarkan catatan Lange meskipun cara dan pengolahan sederhana mereka lakukan, dengan hasil yang luar biasa, sehingga produksi Timah Tahun 1740 sudah sebesar 25.000 pikul (Lange, 1850:16) (Habis/***). 

 

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan