Kita Semua adalah Buruh

Ahmadi Sopyan-screnshot-
Oleh : AHMADI SOFYAN
Penulis Buku / Pemerhati Sosial Budaya
SELAMAT berjuang kawan Buruh. Kita semua rakyat Indonesia adalah buruh.
“Mohon maaf, jalan Anda terganggu, karena sedang ada perbaikan Negara!”
--------------
HAKEKATNYA apapun profesinya, kita semua adalah buruh. Di era modern ini setiap tetes keringat dan secuil tenaga memiliki harga. Semua yang bekerja dan dibayar semahal apapun, ia tetaplah buruh. Termasuk yang bikin Undang-Undang dengan jas dan dasi serta fasilitas negara yang mengagumkan.
Ini Indonesia! Watak masyarakatnya terbiasa tidak takut mati. Karena antara hidup dan mati bagi orang Indonesia itu sangatlah tipis. Bahkan tak sedikit yang berpikir, bahwa lebih baik mati benaran daripada hidup tapi setengah mati alias ngos-ngosan apalagi dimatikan oleh kekuasaan yang tak kan mampu dilawan. Masih ingatkah kita, misalnya ketika RUU Cipta Kerja dan Omnibus Law, ribuan bahkan jutaan orang turun ke jalan menyikapi RUU Cipta Kerja yang bikin masalah lagi di negeri ini. Ditengah pandemi Covid 19, pemerintah dan Anggota DPR RI seperti memanfaatkan kesempatan tersebut dengan mengesahkan Rancangan Undang-Undang yang sejak awal dipastikan akan menimbulkan reaksi keras dari masyarakat, terutama kelompok buruh dan mahaisiswa.
Kala itu, mungkin analisa pemerintah dan Wakil Rakyat di Senayan bahwa dengan adanya Pandemi Covid 19 ini serta peraturan yang ada, tidak boleh kumpul atau bikin keramaian, masyarakat tidak akan turun ke jalan. Nyatanya salah, keberanian untuk menyuarakan kebenaran jauh lebih besar daripada ketakutan akan kematian oleh virus Covid 19.
Bisa jadi, bagi kaum buruh dan mayoritas masyarakat Indonesia, covid 19 hanya membunuh kehidupan sendiri atau keluarga, tapi keberadaan Omnibus Law RUU Cipta Kerja akan membunuh masa depan kedaulatan negeri, membunuh kehidupan dan masa depan kaum buruh, membunuh keadilan sebagai anak negeri di negeri sendiri, membunuh kaum kecil yang semakin sempit kebebasan dalam republik yang menganut demokrasi. Bahkan bersuara pun nyaris nanti tak lagi bisa disampaikan dengan cara-cara seperti sekarang ini. buruh adalah robot dan remote terpegang oleh kaum pemodal. Saat ini, memang kita semua adalah buruh, tapi kita bukanlah robot. Entahlah jika suatu hari nanti…
Ketidakpekaan Pemerintah dan Wakil Rakyat di Senayan terhadap keadaan negeri ini tidak lepas dari sikap ingin menguasai. Maklum saja, kita ditelusuri lebih dalam, berapa banyak para Wakil Rakyat di DPR RI sana adalah para pengusaha. Hanya segelintir saja berisikan orang-orang yang berangkat dari rakyat kecil atau aktivis. Salah siapa? Ya salah kita semua (kaum buruh) akibat memilih karena tergiur oleh sesuatu yang dikasih. Salah siapa? Ya salah kita semua (kaum buruh) setiap Pemilu selalu gampang ditipu. Salah siapa? Ya salah kita semua (kaum buruh) terlalu mudah memberikan suara hanya karena janji dan upeti secuil adanya.
Orde Kelenger
KEPADA saya, seorang sahabat bertanya: “Orde apa yang pantas kita namakan kepemimpinan sekarang ini? terus langkah terbaik apa yang harus kita lakukan agar tak salah langkah?”. Dengan tegas dan penuh canda, saya jawab saja sekenanya, bahwa sekarang ini kita hidup di Orde “Kelenger”. Entah “kelenger” karena ekonomi, bisnis, virus corona, pekerjaan, hukum, politik, pemerintahan tanpa pemimpin (negeri tanpa kemudi), hingga di-“kelenger”-kan akibat kepentingan politik & usaha. Langkah yang paling tepat dilakukan saat ini adalah mengokohkan ketauhidan dan tidak melangkah jika tidak ada keberanian. Terus berbuat jika ada yang akan diperbuat. Jangan mudah ditipu oleh keadaan yang sesungguhnya selalu menipu. Berdaulat alias merdeka pada diri sendiri, jangan gampang diperbudak.
Wallahi, ketika keadaan negeri belum begitu semerawut seperti sekarang ini, saya sudah membayangkan kesemerawutannya, tapi ternyata sejak beberapa periode ini lebih parah dari yang kita bayangkan. Saya hanya membayangkan kemandegan alias jalan ditempat akibat kurangnya pengetahuan dan ilmu sang pemimpin kala itu, jalan ditempat jauh lebih baik daripada “basing terabas” yang merusak tatanan negeri yang sudah didirikan oleh para penduhulu ini. Mengangkangi konstitusi demi oligarki dan dinasti. Padahal, untuk menjadi memimpin itu butuh ilmu, pengetahuan, wawasan, bacaan yang berbobot, pendidikan yang mumpuni serta jaringan bahkan keberanian (bukan nekad) wajib ada dalam diri. Tapi nyatanya, pemimpin kita masih main mobil-mobilan. Ruangan kantor bukan berisi tumpukan buku, tapi justru mainan anak-anak.