SERANGAN BUAYA

Akhmad Elvian-dok-
Untuk meredam dan mengatasi kondisi yang meresahkan masyarakat, peran dukon sungai sangat penting. Bila kondisi dianggap genting dan gawat, maka upacara taber dilakukan sekali setahun atau setelah terjadi peristiwa besar misalnya ada orang yang disambar dan dimakan Buaya. Dukon beserta pembantunya memberitahukan kepada penduduk agar jangan dulu turun ke sungai selama lebih kurang Tujuh hari, karena dukon sedang ”ngerage” dengan cara memancing buaya-buaya nakal. Pancing dan umpan disediakan menggunakan ayam dan kera yang masih hidup. Kera-kera sengaja ditangkap dengan perangkap yang disebut anteb yaitu kerangkeng dari kayu yang diberi umpan buah-buahan. Menurut kepercayaan masyarakat orang yang disambar dan dimakan buaya karena kepunen dan lupa nyalet (lupa makan atau mencicipi sedikit makanan yang telah terhidang) sebelum berangkat ke sungai sehingga dimakan buaya, dalam penglihatan Buaya, orang yang dimakan rupanya seperti kera. Setelah pancing beserta umpannya dipasang selanjutnya dukon menyiapkan sesajian serba Enam belas yang diletakkan pada tempat atau lokasi yang merupakan lubuk yang paling dalam di sungai, setelah siap sesajian tersebut segera diteratapkan (dibacakan) mantra-mantra. Pancing-pancing lalu ditebar pada tiap lubuk. Seekor demi seekor buayapun kemudian tertangkap. Buaya yang tertangkap pancing kemudian moncongnya diikat dengan kokoh menggunakan tali pancing dari rotan ”peledas”, selanjutnya diarak dengan bunyi-bunyian seperti gendang dan tawak-tawak (gong) untuk dikumpulkan di lokasi pemukiman penduduk kampung. Setelah beberapa hari buaya-buaya nakal yang tertangkap sebanyak Tujuh ekor dan telah terpasung moncong, kaki, tangan dan ekornya itu hanya dapat pasrah sambil mengedip-ngedipkan matanya dan melelehkan air mata mohon belas kasihan (ada pribahasa ”Air mata Buaya”). Dukon kemudian membacakan lagi mantra dan satu persatu Buaya tersebut kemudian ditamparnya pada bagian rundek (kuduk) sebanyak Tiga kali sebagai hukuman bagi yang berbuat jahat terhadap anak dan umat Nabi Muhammad, buaya-buaya tadi menggelepar-gelepar sambil mengeluarkan darah segar dari moncongnya dan langsung mati kemudian dikuburkan seekor demi seekor. Selanjutnya dukon melakukan taber sungai dengan ancak (sesajian) serba Delapan belas. Selesai membaca mantra atau jampi-jampi dukon kembali ke rumah untuk menemui penduduk kampung yang sudah berkumpul. Setelah penduduk berkumpul baru dilaksanakan acara berlari beramai-ramai dari rumah dukon menuju kepuang (bagian tepi sungai sebelum menuju alur sungai yang dalam) terus menuju alur dalam di sungai untuk kemudian melakukan mandi bersama.
Taber sungai bukan hanya dilakukan untuk mengatasi masalah yang insidental sifatnya akan tetapi dilakukan sebagai upaya pencegahan biasanya dilakukan setahun sekali atau dua tahun sekali. Naber Sungai, yang dilaksanakan Dua tahun sekali dilaksanakan bila kondisi normal tak banyak gangguan Buaya. Dukon mempersiapkan barang-barang sebagai ancak (jenis makanan) yang akan diberikan kepada wakil buaya disalah satu lubuk dalam sebuah perahu. Ancak yang diberikan serba Empat yaitu ketupat empat buah, pisang empat buah, nasi empat piring, pinang empat butir, rokok empat batang, lepet empat buah, telur ayam empat butir. Sambil membaca mantra atau jampi, dukon dalam perahu menjuntaikan kakinya di samping perahu ke dalam air. Buaya puaka di lubuk itu muncul ke permukaan di samping kaki dukon dengan membuka mulutnya siap menerima sesajian yang disebut ancak. Selesai menerima sesajian, Buaya lalu menenggelamkan dirinya ke dasar sungai dan kemudian seluruh aliran sungai sudah dianggap aman. Dukon sungai lalu memberitahukan kepada penduduk, dengan meniupkan potongan bambu sehingga terdengar sejauh radius 2-3 km. Kegembiraan penduduk disambut dengan mandi bersembur-semburan air, lempar-lemparan ganggang air, main balik membalikkan perahu, berenang di samping buaya-buaya yang dihadirkan oleh dukon ke permukaan. Setelah merasa puas dengan permainan tersebut lalu naik ke darat lalu menyantap makanan yang dibawa dari masing-masing rumah. Setelah Tahun 1953, tidak pernah lagi diadakan upacara taber besar-besaran, buayapun sudah berkurang karena terus-menerus diburu oleh pendatang dari sungai Lumpur dan sungai Jeruju di Pulau Sumatera, kemudian rerumputan serta ”kayu Kayan” tempat buaya biasa bersarang sudah rusak terbakar atau ditebang manusia, akan tetapi para penangkap ikan harus selalu waspada dan menjaga pantang-pantangan, seperti jangan menyebut kata Trenggiling (manis javanica), terlalu gurak (bersenda gurau yang berlebihan), menyebut makanan-makanan yang enak seperti panggang ayam, bubur cacak, dodol, lemang, membawa pisang dan telur ke sungai dan lain-lain karena Buaya puaka sekali-sekali sering muncul dipermukaan air.
Keberadaan Buaya di Pulau Bangka dalam catatan sejarah juga menjadi perhatian peneliti dari Jerman. Dr. Franz Epp, seorang ahli medicine yang pernah berkunjung ke pulau Bangka, dalam bukunya Schilderungen aus Hollandisch-Ostinden, Heidelberg, J.C.B. Mohr, 1852, hal.211 menjelaskan tentang Buaya di distrik Pankalpinang: “Pankalpinang an einem, der viele Krummungen hat und wegen der sich darin aufhaltenden Krokodile sehr beruchtigh ist, besitzt einen volkreichen Kampong. Das Fort effordert 300 mann zur Vertheidigung. die Bezatzung ist aber nur 30 mann strak. Die gegend von Pankalpinang ist sehr wasserrich: das stagnirende wasser macht in den troknen monaten den kampong ungesund”. Dikatakan Franz Epp, bahwa terdapat sungai (lubuk) kecil di Pankalpinang yang memiliki banyak lekukan dan ditinggali banyak Buaya. Pankalpinang memiliki kampung padat penduduk. Kota Pangkalpinang membutuhkan 300 orang untuk menjaga dan mempertahankannya. Tapi kondisi yang ada hanya 30 orang. Daerah Pankalpinang sangat kaya air, genangan air membuat kampung tidak sehat di musim kemarau”.
Selanjutnya ada catatan sejarah yang cukup menarik pada saat Syaikh Abdurrahman Siddik seorang ulama ketika melakukan dakwah Islam di Kotawaringin (Tahun 1910). Beliau pernah melakukan musyawarah dengan tokoh masyarakat setempat untuk mengangkat sisa lunas kapal Panglima Syarah dari Kesultanan Johor yang tenggelam di Berok, muka Sungai Kotawaringin (sekitar Tahun 1641/1642 Masehi). Sisa lunas kapal tersebut harus diangkat karena dianggap mengganggu aktifitas masyarakat Kotawaringin saat mencuci, mandi dan menjalankan perahu. Hasil musyawarah mufakat masyarakat sepakat untuk mengangkat lunas tersebut ke daratan, akan tetapi setelah diangkat lunas kapal tersebut, ternyata buaya-buaya di Sungai Kotawaringin mengamuk dan kemudian menggangu aktifitas masyarakat, sehingga kemudian disepakati lagi untuk menenggelamkan kembali sisa lunas kapal Panglima Syarah tersebut ke sungai. Akan tetapi posisi lunas diletakkan agak digeser agar tidak mengganggu aktifitas masyarakat di sungai Kotawaringin dan kemudian Buaya Sungai Kotawaringin menjadi tenang kembali.