PERTUNJUKAN WAYANG DI BANGKA
Akhmad Elvian-screnshot-
Oleh Dato’Akhmad Elvian, DPMP, CECH
Sejarawan dan Budayawan
Penerima Anugerah Kebudayaan Indonesia
PADA Tahun 1817 Masehi atau pada akhir masa kekuasaan Inggris di Pulau Bangka atau pada tahun awal masa kekuasaan Hindia Belanda di Pulau Bangka setelah penandatanganan Traktat London, didapatkan data dari Residen Inggris untuk Palembang dan Bangka, M.H. Court tentang jumlah penduduk orang Cina (Chinesen) yaitu sebesar 4.651 jiwa dari total keseluruhan jumlah penduduk pulau Bangka yaitu sebesar 13.413 jiwa.
-------------------
SELANJUTNYA Selanjutnya Franz Epp, dalam bukunya Schilderungen aus Ostindiens Archipel, Heidelberg: J.C.B. Mohr, 1841, pada halaman 209, dalam data dari tabel statistik (statistische verhaltnisse) didiskripsikan, bahwa pada Tahun 1848 Masehi penduduk pulau Bangka berjumlah sekitar 41.246 jiwa dan dari jumlah tersebut terdapat sekitar 10.052 orang Cina. Penduduk pulau Bangka pada masa itu tersebar dan tinggal di 482 kampung. Penduduk etnis Cina terbesar pada waktu itu adalah yang berdomisili di distrik Belinyu dengan jumlah sebesar 2.270 jiwa (Epp,1852:209). Selanjutnya berdasarkan volkstelling atau sensus yang dilakukan pemerintah Kolonial Belanda pada Tahun 1920 Masehi, perkembangan jumlah penduduk orang Tionghoa termasuk peranakan di Pulau Bangka mencapai 67.398 orang atau meliputi 44,6 persen dari keseluruhan penduduk Pulau Bangka yang berjumlah 154.141 orang (termasuk orang Eropa). Kebanyakan Orang Tionghoa yang datang ke Pulau Bangka, yang pada awalnya secara resmi pada Tahun 1724 didatangkan oleh sultan Kesultanan Palembang Darussalam Mahmud Badaruddin I Jayowikromo dari Semenanjung Malaka, Vietnam, Laos, Pattani, Johor dan Siantan, maupun yang didatangkan oleh Inggris sekitar 1600 orang dari wilayah Kanton dan kemudian didatangkan secara bertahap oleh Pemerintah Kolonial Belanda dari wilayah Cina Selatan dari suku Hakka dan Hokian adalah untuk bekerja di Parit-parit penambangan Timah, guna meningkatkan produksi Timah di Pulau Bangka.
Orang Tionghoa di Bangka menyebut Pulau Bangka dengan sebutan “Pangka-To” (To, berarti pulau), sebagian orang Hakka yang bekerja di tambang Timah yang masih terikat pada kontrak penambangan (Singkek) maupun yang tidak terikat kontrak (Laokek) menyebut Pulau Bangka dengan sebutan “Mong-Kap-San”. Wilayah Mong-Kap-San terdiri atas Delapan wilayah yang disebut dengan Pat-Kong-Mun, yaitu: 1) Buntu yang menyatakan tentang wilayah Mentok; 2) Nampong yang menyatakan wilayah Jebus; 3) Bli-Jong yang menyatakan wilayah Belinyu; 4) Liet-Kong yang menyatakan wilayah Sungailiat; 5) Liu-Sak yang menyatakan wilayah Baturusa atau Merawang; 6) Pin-Kong yang menyatakan wilayah Pangkalpinang; 7) Komuk yang menyatakan wilayah Koba; dan 8) Sabang yang menyatakan wilayah Toboali. Umumnya para pekerja tambang Timah di Pulau Bangka, membawa juga adat istiadat, tradisi dan budaya serta agama tempat asal usulnya dari daratan Tiongkok. Tersebarnya Toapekong dan Kelenteng di seluruh penjuru Pulau Bangka yang umumnya bernama Kwan Tie Miaw, Shen Mu Miaw dan Fuk Tet Che, serta beragam kesenian, adat dan tradisi serta budaya yang masih berlangsung hingga sekarang menjadi bukti kuat eksistensi budaya Cina di Pulau Bangka. Terjadilah proses asimilasi dan akulturasi budaya antara budaya orang Cina dengan budaya pribumi Bangka serta budaya orang Melayu. Tampilan budaya dan peradaban tersebut saat ini dapat dilihat dan sangat memperkaya budaya Bangka, dalam hal arsitektur bangunan, gastronomi dan kuliner, atraksi kesenian dan budaya, ritual dan upacara keagamaan, sistem mata pencaharian hidup, lingkungan pemukiman dan ibadah bahkan sampai ke tempat pemakaman. Sampai saat ini orang Tionghoa Bangka mewariskan dialek bahasa sendiri yaitu Chineesch dialecten (dialek Cina), dengan penutur hampir di seluruh wilayah distrik dan under distrik di Pulau Bangka. Salah satu bentuk kesenian yang unik dan pernah ada di Bangka berasal dari Cina adalah pertunjukan Wayang Cina atau Wayang Tionghoa.
Dalam catatan F. Epp dalam buku keduanya Schilderungen aus Hollandisch-Ostinden, Heidelberg: J.C.B. Mohr, 1852, halaman 64 dinyatakan, bahwa di Pulau Bangka terdapat pertunjukan Wayang Tionghoa dan perrtunjukan Teater yang dilaksanakan di tambang tambang Timah, pejabat Kolonial dikatakannya harus mengawasi praktek pertunjukan Wayang Tionghoa tersebut karena sering juga membawa pelacur ke tambang tambang terutama pada saat perayaan Tahun Baru Imlek atau Kongian. Selanjunya dalam Laporan S. Frankel pada Tahun 1843: Bijdrage tot de Kennis der Tinminen van het eiland Banka dalam Tijdschrift voor Nederlandsch Indie dijelaskan, bahwa di Marawang telah terjadi, kepala pegawai administrasi mengeluarkan perintah agar para pemain wayang yang telah lebih dari 14 hari mengadakan pertunjukan di pertambangan dan para pekerja tambang dengan sengaja menghentikan pekerjaannya, yang jelas-jelas tindakan demikian merugikan negara. Para pemain wayang kemudian ditahan dan diputuskan harus meninggalkan lokasi penambangan. Namun, para pekerja tambang menahan mereka agar para seniman itu tetap tinggal di sana untuk memperpanjang pertunjukannya selama 5-6 hari berikutnya. Peristiwa ini kemudian dilaporkan kepada residen yang mengakibatkan dikeluarkannya peraturan yang berisi larangan untuk mengadakan pementasan wayang di daerah pertambangan, kecuali seizin pejabat sipil di wilayahnya. Para pekerja di Toboali melakukan protes sambil berteriak-teriak, bahwa mereka akan membiarkan wayang pentas di Toboali kapan pun mereka mau. Kerugian yang ditimbulkan akan mereka tanggung sendiri. Ketika tindakan pembangkangan ini ditangani secara sesuai prosedur dan tidak diambil tindakan tegas, dengan asumsi takut bila menimbulkan kerugian pada negara, akhirnya aturan-aturan yang sudah dibuat tidak lagi diberlakukan. Kekuasaan umum tidak lagi dihormati. Kekerasan dan tindakan nekat bukan hanya ditujukan pada orang-orang dan hartanya, akan tetapi juga terhadap pemerintah. Tuntutan tidak masuk akal diajukan dan semua itu harus dikabulkan apabila tidak menghendaki keamanan terganggu untuk jangka waktu lama, yang ujung-ujungnya kerugian akan diderita oleh negara.
Di samping pertunjukan wayang dilakukan di parit parit penambangan Timah, Pemerintah Belanda juga mendirikan beberapa tempat hiburan seperti rumah judi, rumah candu dan rumah tempat pelacuran. Biasanya tempat-tempat hiburan seperti rumah candu, rumah judi dan tempat pelacuran sangat ramai dikunjungi setelah para pekerja tambang menerima gaji dan upah. Akibat upah atau gaji yang diperoleh banyak dihambur-hamburkan untuk bersenang-senang, maka mayoritas pekerja tambang tidak dapat kembali pulang ke negeri asalnya dan banyak juga yang terlibat hutang kepada kongsi-kongsi penambangan. Hutang ini terjadi karena madat atau candu serta kehidupan di tambang yang susah, para pekerja tambang hanya memiliki waktu luang yang sedikit, tidak memiliki tabungan (tin potje), dan hilangnya kebebasan karena harus minta izin bila meninggalkan tambang karena terikat pada kontrak, serta pekerja tambangpun harus memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya yang lain seperti, belanjaan kebutuhan kecil, teh, tembakau, daging serta kebutuhan lainnya termasuk pakaian, sementara gaji atau upah yang diperoleh harus dipotong untuk angsuran kontrak kerja dan biaya ongkos kedatangan ke Bangka dari tempat berasal. Kondisi para pekerja tambang Timah di Bangka digambarkan oleh ahli geologi Posewitz, pada tahun 1886, sebagaimana dikutip oleh Heidhues (2008:75): “Kebanyakan Singkeh (pekerja yang masih terikat kontrak) dipaksa, karena mereka tidak punya kredit dan uang tunai untuk membeli barang kebutuhan mereka, pakaian, tembakau, teh dan sebagainya dari kongsi dengan harga tinggi,oleh karena itu mereka biasanya masih berhutang pada akhir tahun pertama mereka..., selanjutnya dikatakan keadaan para pekerja tidak membuat orang iri, pekerjaan mereka berat, waktu luang sedikit, dan mereka harus membeli seluruh kebutuhan sehari hari dari kongsi, yang membeli tembakau, teh dan sebagainya secara grosir dari pedagang Tionghoa dan menjual kembali barang-barang ini kepada pekerja tambang. Sering dengan keuntungan 100-300 persen. Pekerja yang baik yang memiliki kredit dapat membeli barang-barang tersebut langsung dari para pedagang, tetapi ini pengecualian”.
Berdasarkan Algemeen Verslag Der Residentie Banka Over Het Jaar 1851, nomor 42, pemerintah Kolonial Belanda memperoleh penghasilan resmi yang cukup besar dari rumah Candu yaitu sekitar 53.000 gulden, dari rumah Judi sekitar 4.305 gulden dan dari Po dan Topho sekitar 9.200 gulden pada tahun 1851 Masehi. Dalam peta Resident Bangka en Onderh. Opgenomen door den Topografischen dienst in 1928-1929 Blad 34/XXV d, atau pada saat peta ini dibuat Tahun 1928, masih tercatat dengan jelas letak atau lokasi Opiumregie (Gudang Opium) di Kota Pangkalpinang.***