Bute Mencelak
Ahmadi Sopyan-screnshot-
Oleh: AHMADI SOFYAN
Penulis Buku / Pemerhati Sosial Budaya
AKAN datang zamannya di negeri ini,
wong edan (orang gila) jadi imam jadi panutan,
babi berbulu sapi dan alkohol bermerek zam-zam.
-----------
KERAPKALI kesunyian malam ditengah belantara (kebun), saya merenung tentang kehidupan. Renungan saya nggak pernah persoalan yang penting-penting, sebab yang penting-penting itu sudah ada yang merenungkannya. Orang kecil renungannya yang kecil-kecil saja, itu namanya tahu diri. Bagaimana mau dikatakan renungan penting, misalnya sewaktu-waktu saya teringat film masa kecil, Si Unyil, lalu seketika waktu teringat film Si Buta Dari Gua Hantu. Namun dari yang remeh temeh ini sering menjadi inspirasi bagi saya, termasuk inspirasi menulis.
***
ERA tahun 70-an ada film pendekar sakti mandraguna yang diperankan oleh Ratno Timoer berjudul: “Si Buta Dari Gua Hantu”, mengisahkan tentang seorang pendekar buta yang tak mampu melihat dengan mata zohir namun bisa melihat dengan mata bathin sehingga ia menjadi pendekar handal yang tak terkalahkan oleh orang-orang yang “mencelak” (tidak buta) sekalipun.
Saya tidak punya kualitas yang mumpuni untuk menceritakan soal film apapun, karena memang bukan penggemar film masa kini apalagi sinetron remaja masa kini. Tapi menurut saya ada satu hal yang menarik dari judul film “Si Buta Dari Gua Hantu” yang disutradarai Lilik Sudjio ini, yang waktu masa kecil pernah saya tonton, yakni mata zohir yang melekat di wajah yang letaknya dibawah kening dan di antara hidung sedikit ke atas itu, ternyata bukanlah satu-satunya panca indera untuk melihat segala benda dan bentuk kekuasaan dari kekayaan Sang Pencipta, apalagi untuk melihat sebuah kebenaran.
Kita yang hidup di zaman serba canggih dan serba instan ini, semakin sulit membedakan mana kebenaran mana pembenaran, mana artis mana ustadz, mana kiyai mana dukun, mana tikus mana kucing, apalagi semuanya ada dimana-mana, suaranya pun disama-samakan setidaknya samar-samar tertangkap telinga sehingga kita pun kerapkali salah menduga. Semua itu tidak bisa hanya didengar dan dilihat oleh telinga dan mata secara zohir.
Perkembangan zaman yang serba ada dan serba boleh ini pula yang akhirnya membuat kita “buta tapi mencelak” walaupun panca indera bernama mata berfungsi sebagaimana mestinya. Dua bola mata yang kita miliki memang mampu melihat sesuatu secara zohir (nyata), tapi tak mampu mengidentifikasi mana yang baik dan yang benar. Ternyata untuk melihat lebih utuh lagi adalah dengan mata hati (nurani) yang berlandaskan nilai-nilai spiritual, bukan sekedar intelektual apalagi sekedar untung rugi dan kepentingan sesaat.
Mata hati atau mata bathin yang kokoh tak kan mampu digoyah oleh opini apapun. Seribu kata beropini ria memberikan trademark seseorang dengan julukan “korupsi” atau “koruptor” atau “merugikan negara” tapi ketika mata hati rakyat berbicara “tidak”, maka opini tersebut tak kan berguna bahkan sebaliknya. Karena hukum di negeri ini lebih menitik beratkan pada “kejar tayang” atau “kejar target” agar dianggap “berprestasi” walaupun dengan cara menzholimi sehingga mudah mendapatkan kursi yang diimpikan. Begitupula seribu gaya dan seribu ucapan arogan yang dikemukakan dalam berbagai kegiatan dan diberitakan berbagai media agar dianggap tegas, berwibawa, populer, namun jika mata hati melihat itu adalah sebuah pencitraan, caper (cari perhatian) atau sekedar “nanggok” kepentingan, semua akan bernilai “sampah” dalam pandangan mata hati yang bernurani.