Bute Mencelak

Ahmadi Sopyan-screnshot-

Orangtua kita dulu telah mengingatkan bahwa jangan sampai kita anak-anaknya menjadi manusia-manusia yang hanya bisa melihat sesuatu berdasarkan mata zohir saja. Karena banyak hal yang harus diidentifikasi dalam hidup ini sebelum menentukan sesuatu apakah sebuah kebenaran atau hanya sekedar pembenaran. Dalam bahasa sindiran, orangtua kita di Bangka menyebutnya “bute mencelak”, yang jika diterjemahkan bermakna “melihat tapi buta” atau “melihat tapi salah menilai”. “Bute mencelak” ini sangat berbeda maknanya dengan kalimat yang hampir sama, yakni “bute baru mencelak” yang dulu pernah saya kupas dalam tulisan di kolom TARING ini juga.

Perilaku “bute mencelak” inilah yang menjadi titik nadir kegalauan dalam hidup, karena kita tak mampu lagi memaknai hakekat hidup. Untuk dapat memaknai hakekat hidup tentunya dengan mata hati (nurani) yang berlandaskan nilai-nilai spiritual. 

Jika ditelusuri lebih jauh, ternyata karena pribadi-pribadi “bute mencelak” inilah yang membuat tatanan kehidupan berrumah tangga, bertetangga, bahkan berbangsa dan bernegara bahkan kasus hukum menjadi kacau balau. Yang salah menjadi benar, yang benar menjadi samar-samar. Orang baik dicaci maki, orang bejat menjadi terhormat. Parahnya wong edan (orang gila) akhirnya menjadi imam dan menjadi panutan. 

Akibat “bute mencelak” seseorang bisa bersikap arogan. Merasa diri paling besar dan paling benar. Sehingga ketika mendapat secuil amanah kekuasaan, bersikap “sak enak udel e dewe” alias “sekenek perot” atau semaunya, seakan-akan nyawa dan masa depan orang ada ditangannya. Tak jadi soal mempermalukan bawahan ditempat umum, karena merasa diri ingin dianggap tegas dan hebat, padahal yang melihat justru tertawa sinis, geleng kepala sambil mengelus dada dan beristighfar. Bahkan ada yang sambil nyeletuk menggelitik: “Inilah negeri Naga Bonar!”.  

Karena “bute mencelak” ini kita tidak bisa lagi membedakan antara abdi negara dan beban negara, pengamat apa penjilat, pelopor atau pengekor, intelektual atau pengobral, pembela negara atau penjual aset negara, pejabat apa penjahat, yang terhormat apa yang terlaknat, penegak hukum apa penjual hukum, aparat hukum apa keparat hukum. Karena kita sudah begitu susah membedakan mana kebenaran dan mana pembenaran tadi.

Akibat “bute mencelak” kita tidak bisa lagi membedakan antara roti dan tai, alkohol atau teh botol, arak atau teh kotak, babi atau sapi, lempah kuning atau air kencing. Karena kita sudah tak punya kesempatan lagi untuk membedakannya dengan alasan kesibukan ataukah karena kejumudan.

Saya gunakan kalimat “kita” karena saya dan Anda bisa ada pada posisi tersebut. Karena setiap kita, kapan pun dan dimana pun bisa bisa terjangkit virus “bute mencelak” oleh kejumudan pola pikir, pola pergaulan dan keringnya perilaku spiritual dalam diri kita masing-masing. Kita sudah diajarkan oleh kaum sekuler “jangan bawa-bawa agama, deh” dalam urusan bisnis, kantor, pergaulan, politik bahkan berbangsa dan bernegara sekalipun. 

Agama cukup berada di sudut-sudut Masjid, Musholla dan Majelis-majelis saja. So, jangan heran kalau setiap kita sangat gampang “ngerasok” (kerasukan) dengan sendirinya tanpa diganggu Iblis sekalipun, karena dalam diri kita ternyata lebih Iblis daripada Iblis yang sesungguhnya. Akhirnya kita menjadi manusia-manusia seperti yang disindir Tuhan dalam firmannya: summum buk mun ‘um yum fahum laa yubsiruun. Tafsiran singkatnya ala orang Bangka adalah “bute mencelak”.

Salam Bute Mencelak!(*)

 

Tag
Share