Baca Koran babelpos Online - Babelpos

Setop Mempoligami Kurikulum

Syamsul Bahri.-Dok Pribadi-

Oleh: Syamsul Bahri, S.Pd.I

Kepala MTs Al-Hidayah Toboali

 

Pertanyaan-pertanyaan tentang kurikulum apa yang diterapkan dalam pendidikan di Indonesia terjawab dengan dilahirkannya Permendikdasmen Nomor 13 Tahun 2025. Permendikdasmen Nomor 13 Tahun 2025 menegaskan bahwa tidak ada pergantian kurikulum nasional. Satuan pendidikan pada tahun ajaran 2025/2026 tetap menggunakan Kurikulum 2013 dan Kurikulum Merdeka. Permendikdasmen ini dilahirkan sebagai perubahan atas Permendikbudristek No. 12 Tahun 2024.

 

Dengan adanya aturan baru tersebut artinya ada dua kurikulum yang digunakan untuk pendidikan di Indonesia. Kedua kurikulum itu boleh digunakan oleh lembaga pendidikan. Hal itu menurut mendikdasmen untuk memberikan fleksibiltas bagi lembaga pendidikan dalam menyesuaikan kurikulum dengan kondisi masing-masing.

 

Kebijakan Mendikdasmen yang menjadikan kurikulum 2013 dan kurikulum merdeka untuk tetap eksis dan menjadi pemeran utama itu, seolah memberikan ruang yang luas untuk lembaga pendidikan dalam menentukan sistem pembelajaran. Banyak hal yang bisa dieksplor oleh lembaga pendidikan, salah satunya lembaga pendidikan bisa memilih waktu pembelajaran, bisa lima hari atau enam hari yang penting jam pembelajaran terpenuhi.

 

Namun, menurut hemat penulis peraturan Mendikdasmen menjadikan dua kurikulum (kurikulum 2013 & kurikulum merdeka) masih boleh digunakan membuat “kegamangan” dalam dunia pendidikan di Indonesia. Memang peraturan tersebut tidak merubah nama kurikulum pendidikan Indonesia, namun dengan masih memberikan kesempatan kepada kurikulum 2013 dan kurikulum merdeka “bermain”, artinya Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah telah memakai kurikulum ganda. Dan ini mengulang sejarah dualisme kurikulum pada masa lalu yang menggunakan KTSP dan kurikulum 2013 secara bersamaan. 

 

Kebijakan “mempoligamikan” kurikulum pendidikan ini juga merepresentasikan bahwa Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah masih “galau” dalam memilih kurikulum.  Memang dampaknya tidak terasa di tataran elit, namun pada pelaksana kebijakan akan mengalami kegalauan. Bagi lembaga pendidikan yang masih masa transisi tentunya harus membuat dua macam dokumen kurikulum, walaupun katanya tidak sesulit yang dibayangkan, namun tetap saja akan menjadi permasalahan. 

 

Penerapan dua kurikulum dalam waktu yang bersamaan ini juga, tampaknya juga karena banyaknya ekspektasi yang ditujukan kepada “nahkoda” baru Kemedikdasmen untuk menelorkan kurikulum yang lebih baik dari pendahulunya. Bahkan mendikdasmen diharapkan dapat melakukan ijtihad bersama para mujtahid pendidikan lalu melakukan reformasi kurikulum pendidikan di Indonesia. 

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan