Baca Koran babelpos Online - Babelpos

Menteri Ganti, Kurikulum Ikut: Kapan Pendidikan Indonesia Berhenti Jadi Kelinci Percobaan?

Yanto.-Dok Pribadi-

Oleh: Yanto, M.Pd., Gr. 

Guru SMP N 3 Toboali

 

SETIAP kali tampuk kepemimpinan di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan berganti, seolah menjadi kutukan bahwa kurikulum pendidikan pun ikut diobrak-abrik. Kita seperti menyaksikan sebuah sandiwara yang berulang tanpa henti: menteri baru, kurikulum baru. Pertanyaannya, sampai kapan pendidikan Indonesia akan terus menjadi "kelinci percobaan" dari kebijakan yang serampangan?

 

Kurikulum Merdeka yang belum sepenuhnya tuntas dipahami dan diimplementasikan oleh para guru, kini kembali dikhianati dengan wacana kurikulum baru. Ironisnya, perubahan ini sering kali terjadi tanpa evaluasi mendalam terhadap kehancuran yang diakibatkan oleh kurikulum sebelumnya. Sebagai contoh, di sekolah saya sendiri, SMP N 3 Toboali, kami baru saja mulai mencoba mengintegrasikan proyek penguatan profil pelajar Pancasila dalam Kurikulum Merdeka. 

 

Namun, dengan adanya  kurikulum baru, semangat dan persiapan yang telah kami lakukan terasa sia-sia. Alih-alih fokus pada peningkatan kualitas guru, penyediaan fasilitas yang memadai, atau pemerataan akses pendidikan, energi dan sumber daya justru terkuras untuk menyesuaikan diri dengan kurikulum yang terus dibuang dan diganti.

 

Tentu, inovasi dalam pendidikan adalah sebuah keniscayaan. Namun, inovasi yang berkelanjutan dan terukur jauh lebih baik daripada perubahan yang asal-asalan dan reaktif. Kita perlu belajar dari negara-negara maju yang memiliki sistem pendidikan stabil dan berkualitas. Korea Selatan, misalnya, melakukan reformasi pendidikan besar-besaran pada tahun 1990-an, tetapi mereka melakukannya secara bertahap dan terencana, dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan dan melakukan evaluasi berkala. 

 

Mereka tidak terjebak dalam euforia mengganti kurikulum setiap kali terjadi perubahan kepemimpinan. Sebaliknya, mereka fokus pada pengembangan kurikulum yang adaptif, berbasis kompetensi, dan relevan dengan kebutuhan zaman.

 

Lantas, apa solusinya? Pertama, perlu adanya konsensus nasional tentang visi dan misi pendidikan Indonesia yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan: guru, kepala sekolah, akademisi, praktisi pendidikan, orang tua, dan masyarakat. Visi dan misi ini harus menjadi landasan bagi pengembangan kurikulum yang berkelanjutan, tidak terpengaruh oleh kepentingan politik yang merusak.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan