Beban di Atap Rumah Kami
Cerpen Marhaen Wijayanto Beban di Atap Rumah Kami-Babel Pos-
Ceramah saat kultum mendadak menjadi serangan balik kilat bagi keluarga kami. Serangan itu sudah menyerupai rudal Kim Jong Un yang mampu memusnahkan gedung putih. Tiang di rumah kami seperti terkena tekanan benda teramat berat dari genting. Rumah kami seakan ada bunyi kretek, kretek, kretek karena beban di atas genting itu semakin hari semakin berat.
Beban di atas genting itu adalah minuman segar yang sering dipamerkan ayah saat jemaah salat Ashar dan Zuhur. Acara makan siang bersama ayah dengan para pekerja pun seperti menjadi pemberat di atas genting kami yang kini lebih terlihat retaknya. Atap rumah kami yang sepertinya sudah tidak kuat dengan beban perilaku ayah.
Dari tarawih ke tarawih, gibahan kepada ayah semakin menjadi. Ketika kakek kultum, para jamaah di musala melirik ke arah kakek sembari berbisik ke samping kiri ataupun kanan. Apalagi barisan sebelah kiri yang disisi oleh jamaah perempuan, mereka tertawa cekikikan sembari menggibah. Saya sedikit mencuri dengar, setelah melihat wajah saya agak memerah, ibu-ibu itu menutup mulut sembari tertawa.
Saat kakek berbicara, maka saat itu pula serangan gibah dan serapah ke kultum kakek semakin gencar. Jika di sepuluh hari pertama, jemaah di masjid baru sekadar menganalis serta berpikir, maka di sepuluh hari terakhir gibahan mereka akan semakin keras dan menggema. Tak hanya pedih, gibahan itu sudah seperti parang yang diasah dan menggores hati kami.
Selain hati saya teriris-iris, atap rumah kami sudah kritis karena dibebani dengan berton-ton omongan jamaah kultum kakek. Tiang rumah kami sedikit bergoyang. Kami ragu, rumah kami akan bertahan sampai Idul Fitri.
Mungkin sedikit teguran bagi keluarga kami, bahwa kebenaran sebenarnya harus berasal dari orang terdekat, bukan orang lain. Setidaknya kemenangan di musala itu saya rasa bukan jemaah yang berubah karena ceramah kakek yang hebat, tapi ketika nanti ayah ikut makan sahur dan berbuka bersama kami. Itulah perihal yang mungkin akan menghilangkan beban berat di atap rumah kami. **
Marhaen Wijayanto, Lahir di Boyolali, 9 Maret 1983. Bekerja sebagai Kepala SDN 7 Simpang Teritip, Bangka Barat. Ia dapat dihubungi di [email protected]. Menulis novel dengan judul 'Mencari Jejak Sang Depati", Roman "Terlupakan" dan Antologi Puisi "Hujan Bulan Desember".