Dalam persidangan yang sama, dihadirkan pula Evaluator PT Timah, Apit Rinaldi sebagai saksi. Dalam kesaksiannya, penambang masyarakat atau yang disebut juga sebagai penambang rakyat kemudian melakukan aktivitas dengan pola kemitraan dengan PT Timah.
BACA JUGA:Gaji Direksi PT Timah Mencuat di Sidang Harvey Moeis, Rp 200 Juta Per-Bulan, Dirut?
"Masyarakat yang memiliki hak atas lahan di IUP PTT memiliki hak untuk bekerjasama dengan PTT yang bentuknya bisa bermacam-macam," terang dia.
Kemitraan dengan penambang rakyat tersebut dituangkan atau dilegalkan lewat Instruksi 030 tahun 2008 dari direksi PT Timah tentang Pengamanan Aset PT Timah.
Hal ini dilakukan agar timah hasil pertambangan rakyat tidak malah diekspor secara ilegal atau dijual ke kompetitor ataupun pihak yang tidak berhak, padahal lahan tempat aktivitas pertambangan itu masuk ke dalam wilayah IUP (izin usaha pertambangan) milik PT Timah.
"Terdapat akulturasi antara kewajiban PT Timah untuk menyelesaikan hak atas tanah dengan memberikan kerjasama penambangan kepada pemilik lahan (kemitraan) dengan metode pembayaran per ton rupiah dan harganya sudah ditentukan oleh PT Timah," sambung Apit.
Apit menambahkan meski beraktivitas di atas wilayah IUP PT Timah, namun penambang rakyat tidak diwajibkan melakukan reklamasi.
Kewajiban melakukan reklamasi tetap menjadi kewajiban PT Timah yang direalisasikan dengan membayarkan Dana Jaminan Pemulihan Lingkungan Hidup yang telah dibayarkan perusahaan saat mengajukan IUP wilayah pertambangan seperti amanah Pasal 43 Ayat (2) butir (a) UPPLH.
Adapun dana jaminan pemulihan lingkungan hidup adalah dana yang disiapkan oleh suatu usaha dan/atau kegiatan untuk pemulihan kualitas lingkungan hidup yang rusak karena kegiatannya.
"Mitra IUJP, tidak ada kewajiban reklamasi, kewajiban reklamasi tetap berada pada PTT, mitigasi oleh PTT adalah perencanaan wilayah yang akan ditata sebagai upaya reklamasi atau perbaikan lingkungan," terang Apit.
BACA JUGA:PH Harvey Moeis Nyatakan: Terungkap Kerja Sama Dengan Smelter Untungkan PT Timah
Saksi lain yang dihadirkan adalah Doni indra sebagai Mitra Tambang Darat UPT. Dalam persidangan itu ia memberikan kesaksian perihak wal mula kerja sama pihaknya dengan PT Timah. Ia menjelaskan bahwa pihaknya adalah salah satu pemilik lahan di kawasan tersebut meski ada IUP atas nama PT Timah di atasnya.
Doni menerangkan, awalnya ia punya lahan 10 hektar dan mengajukan kerja sama ke PT Timah, kemudian ketika dilakukan pengecekan, diketahui lahannya masuk ke dalam IUP PT Timah dan kemudian dapat bermitra dengan PT Timah.
Hal tersebut selaras dengan ketentuan dalam Pasal 136 UU Pertambangan di mana pemilik IUP harus menyelesaikan hak atas tanah sebelum melakukan operasi.
Pola kemitraan dengan masyarakat ini sendiri dipandang sebagai win-win solution karena pada faktanya, tanah yang dikuasai oleh PT Timah jumlahnya sangat sedikit dibandingkan dengan total luas lahan pada IUP PT Timah, sehingga menyebabkan konflik antara masyarakat dengan PT Timah.
Dengan adanya pola kemitraan denga masyarakat pemilik lahan seperti Doni, PT Timah tetap bisa memperoleh timah yang ada pada wilayah IUP-nya, sementara masyarakat pemilik lahan juga memperoleh hak ekonomi atas lahannya.